Langsung ke konten utama

30 Menit

Damba
Dan ia menunggu
Menunggu
Menunggu kapan saat itu
Ia hitung. Sungguh. Ia sudah menghitung
Lembaran uang di tangannya hampir genap
Dan ia hanya perlu menunggu
Sekali lagi, menunggu
Maka: genaplah lembaran uang itu

Ayah. Betapa sosok yang ia damba
Tegar hati kecilnya berkata:
"Ayah menyayangi aku"
Atau
"Ayah merinduiku"

Setiap kali dingin mencibir
Dan kegelapan malam bertubir
Ia berteriak dalam hati: "Ayah mencintaiku"
Kepada sepi...


Kini. Ia hanya perlu menunggu
Setelah itu, semuanya akan tahu:
Kamar tidurnya yang hampa. Bantal guling berwarna
Hingga sepatu yang menghina kesendiriannya
Semua akan tahu:
Ia akan bercanda dengan Ayahnya. Sebentar lagi!

Deru mobil merayap di pelataran
Senyumnya kembang. Bagai bulan pecah di malam panjang
Ia mengintip dari jendela
Menunggu hadir sang Ayah tercinta
Dan menyambutnya dengan pelukan cinta

Ketika sepasang mata mungilnya bersitumbuk dengan mata sang Ayah
Ia berkata:
"Ayahku sayangku,
Boleh ku meminjam uangmu?"
Sayang. Lelaki itu teramat letih
Ia teramat lelah untuk mengerti
Keluguan si bocah rindu
Terantuk dingin hati yang beku
Maka. Tak ada lembaran penggenap
Tak ada recehan koin yang menenteramkan hatinya yang gegap

Mendadak. Ya. Mendadak
Hardik Ayah membuyarkan cita
Si bocah rindu menangis pulang ke sarang
Beralas bantal
Ia pandangi dinding yang tersenyum binal
"Puaskah kau?" tanya si bocah
Seisi kamar tertawa
***
Merayap di kesunyian malam
Ayah, dengan hati sesal, merangkak menuju kamar anaknya
Ia pandangi sosok manusia terbujur dalam nyenyak
Di atas meja, bertumpukan anak tangga, ceceran lembaran uang.
Dan secarik kertas

Tuhan, ku mohon
pinjamkan aku uang dari Ayahku, Tuhan
Uangku tak cukup
Untuk membeli seharian menit waktunya bagiku
Maka, Tuhan
Aku hanya ingin
30 menit saja waktunya bagiku
Dan kuserahkan uang sakuku minggu ini
Sebagai tebusan hutang uang Ayahku
Yang ku pinjam
Untuk menggaji 30 menitnya bagiku


Tuhan,
Kabulkanlah do'aku
Amin


Dan.
Lelaki itu berdiri diam
Tegap. Senyap
Dengan air mata merayap

Maafkan Ayah, Anakku
Batinnya bersama kesunyian ruang dan waktu

Terinspirasi dari Qu Kangen Ayah

Sumber Foto: Shohibul 223

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The End of The Holiday ^.^

Menyambut Esok Yup. Saya pikir inilah saat terakhir saya ngabisin hari libur. Masa reses. Masa menenangkan diri dan menjauhkan diri dari aktivitas perkuliahan dan tugas-tugas yang naujubillah banyak banget. Ini hari terakhir, meskipun masih kesisa sehari besok, buat memikirkan rencana masa depan. Kenapa hari terakhir? Ya karena mulai Senin besok lusa nggak ada lagi rencana. It's time to action! Setuju? ^.^ Senin, jam 7 pagi, sejarah semester 4 studi saya dimulai. Dosen baru, suasana baru. Target-target baru. Saya yakin, sepanjang hati kita yakin, kita bisa melakukan apa aja. Kebaikan apa aja. Kesuksesan apapun meski terlihat rumit dan mustahil. Dan hal ini yang akan saya lakukan: Agraria harus dapat nilai A!!!! Itu tekad saya buat si dosen killer yang bakal jadi dosen di kelas yang saya ambil semester ini. Semoga ini bukan keputusan goblok saya. Tuhan, Ya Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, berikan petunjuk dan kemudahan bagi hamba. Aamiin... So, bagaimana denga

Aku Tertawa

Bayi pun Turut Menertawakanmu Aku tertawa Melihatmu Berebut gundu dengan bibir berlumas gincu Tapi, Aku lebih tertawa lagi Melihatmu sendiri Tergugu dan nyeri Ketika biji gundu itu melesat ke dahi ..... Bekas dan jelas Sumber Gambar : Google

Wahai... (Akhir Mimpi)

Nestapa Bunga-bunga layu Daun-daun Runtuh dalam pelukan kelabu Wahai , Sepi Mengapa musim begitu keji? Sepasang mata Tegak menyongsong derita Jemari mungil penuh luka Memeluk tangkai si kuncup dahlia Yang mulai kering dan punah Wahai, Dingin Seberapa panjang membaluti serbuan angin? Lembah itu Semakin kusam dan berdebu Matahari bisa mengingatnya Di atas batu Ya! Di atas batu itu Semusim lalu Seekor jantan asyik mencumbui betinanya Ya! Di atas batu itu Sang betina pasrah menerima kekasihnya Dan langit Dan bumi Dan semesta raya Ikhlas menerima mereka Mengalirlah gairah dalam cinta Semusim yang lalu... Wahai, Waktu Mengapa dengki nian kau berlaku? Halilintar Suatu hari datang dan mengantar Sepucuk kabar Bahwa cinta harus merepih dan buyar Merepihlah mimpi-mimpi Memuinglah rimbun kasih Air mata . Apakah guna? Cucur darah. Bisakah mengubah? Dan mereka berpisah di antara linang tangisan senja Merantau dalam galau Merundung dalam kabung San