Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

Sewindu Pagi

Jejak manyar berkelebat di rimba halimun. Menyamar di daun-daun. Tersamar di lereng sunyi yang menahun. Suara ratap matahari dari ufuk : repih dan buruk.    Alam duka merutuk... Gelap dan Senyap Bergunduk tanah sirah. Bertumpuk hati merah. Dendam malam terbayang di langit mendung. Tinggallah asa dikunyah gundah gulita. Fatwa-fatwa buntung cerita. Gurindam petuah lumpuh makna. Orang-orang berjalan ke luar rumah . Orang-orang berlari menuju neraka. Bersama seribu lolong. Bersama seribu syahwat tirani berjubel dalam gerbong.    Medan petaka disongsong... Setangkai seroja layu di akhir kuncup. Gerhana pintu hari padanya mencucup. Celah pun kincup. Tak ada lagi mahkota yang recup. Tak ada lagi wangi melingkup. Dan, sewindu pagi dengung memurung. Menyabda wajah semesta dalam nestapa.    Kleptokrasi dalam opera... Sumber Gambar : Baltyra.com - Mengenang Kabut Hangat

Menuju Perhentian Akhir

Kau dan aku sama. Berjalan. Mencoba menyusuri pengembaraan. Sejuta tangan mengajak serta. Dan sejuta tangan pula menggiring ke neraka. Seribu mata memandang perangah. Haruskah berpayah-payah? Kau dan aku sama. Mendebat arah. Berpusing ria di tempat semula. Selaksa suara berbisik menggoda. Dan seribu jua kibuli kita dalam dusta. Sebaris telinga menyimak tak percaya. Haruskah sedemikian susah? Perjalanan Panjang Kita lewati satu demi satu : stasiun dan peron-peron persinggahan . Kita tatap wajah -wajah puas dan cemas. Juga sederet mimik bias. Seakan-akan di sanalah ujungnya. Seakan-akan di situlah muaranya. Dan kereta kembali berjalan. Meninggalkan pengkhayal di tepian. Menyeret pecundang di lintasan. Menampung pejuang di bangku-bangku rotan gerbong harapan. Dan pastinya : kau dan aku sama . Kita meraba dengan segenap peluh yang ada. Kita merasa lewat selusin penat yang melanda. Kita sama-sama menuju sana : perhentian akhir yang jingga . Sembari kita menunggu surya jatuh ke

Kidung Buana*

Tanpa kata. Hanya irama alun menggema. Tanpa rima. Biarkan hasrat riang berterka : pada matahari . Pada langit pagi . Pada puisi yang remah berbangkit di hati . Tanpa hirau. Hanya hening bak malam di atas danau. Tanpa gurau. Biarkan wajah merangkak melepas galau : pada nebula mimpi . Pada semburat partikel janji . Pada sepadang misteri racik simphoni. Tanpa puja. Hanya sepasang telinga khusyuk menjamah. Tanpa damba. Biarkan jiwa lepas memepah : segala duka . Segala luka . Segala dusta yang mewabah di dunia . Dan akhirnya. Orkestra masih bersuara. Merayap dari argadwipa. Menuju kekosongan jiwa.      Kidung Buana ... *Terinspirasi Highland , dipopulerkan Yanni (Album " If I Could Tell You ", 2000)

Misteri Lelucon Hari Ini

Berita Hari Ini Kabar apa yang kau dapati? Hei! Hari ini. Pasti enigma lagi. Kemarin kau kenyang dijejali Century. Kali ini ku jamin kau renyang disuguhi Bunda Putri. Esok, tentang apa lagi? Kabar apa yang kau dapati? Hei! Hari ini. Pasti kegundahan lagi. Kemarin kau resah melihat pangeran muda kita dikitari korupsi. Bagaimana soal cemoreng di muka pengawal konstitusi? Esok, siapa lagi? Kabar apa yang kau dapati? Hei! Hari ini. Pasti keriuhan lagi. Kemarin kau muak dengar pekik atraksi si Bintang Mercy. Kini kau sebah simak hujan maki bagi Ahok-Jokowi. Esok, apa lagi? Kabar apa yang kau dapati? Hei! Hari ini. Selain TKI diancam pancung. Selain lahan tani yang murung. Selain kegamangan langkah yang masih saja di kedua tungkai kaki kita mengerubung. Ada lagikah yang kau dapati detik ini?      Selamat datang di misteri lelucon hari ini ! Semoga kau tak bosan menikmati! Aamiin. Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi

Dies Natalis Tirani Reformasi

Dulu kupikir pergolakan suara itu akhir segalanya. Aku salah. Dia awal dari semuanya! Kakakku kerap berkata : "Orde Baru harus musnah demi kehidupan yang cerah." Aku sangat mempercayainya. Hingga di hari ia berangkat ke medan laga, hingga pelukan terakhirnya di rengkuhan lenganku. Hingga ketika bayangan punggungnya hilang di pertigaan jalan. Hingga detik itu aku masih yakin pada perkataannya. Dan jasadnya teronggok di dalam peti kayu. Bisu. Muram dan kelabu. Di televisi begitu gaduh. Entah senjata, entah pekik laknat pada sang raja. Ku mengacuh. Ku hanya ingin memandangi muka kakak lelakiku sekali lagi. Ku hanya ingin memandangi parasnya 'tuk terakhir kali. Apa Guna Pengorbanan Itu? Dan dulu kupikir pertumpahan darah itu akhir segalanya. Aku salah. Dia awal dari semuanya! Raung merdeka dan sujud syukur bergema di mana-mana. Mahkota raja berpindah sementara teriak memaki masih meninggi. Revolusi lancar setengah misi. Dan perjuangan masih panjang lagi. Tiba

Togata* Derita Anak Manusia

Raut Wajah Kota Suara kota memekik. Suara ambisi lantang meringkik. Seribu wajah. Seribu langkah. Pucat pasrah melupa tengadah. Tuhan tak bisa diandalkan hari ini. Kata mereka dalam hati. Suara kota menjerit. Suara desak menajam ke langit. Sejuta kata. Sejuta babak cerita mengalur bak hulu sungai menuju samudera. Tumpang gelimpang telanjang. Kebaikan bukan saatnya terpajang. Kata mereka di kepala. Di gedung-gedung; di meja-meja. Di jalanan buas dan serakah. Di trotoar yang meniupkan angin jengah. Mereka tak pernah puas menghambakan diri. Tunduk pada siapa, rutuk pada siapa. Detik jam serasa kejam. Detik jam laksana lubang nasib yang suram. Yang kusam... Togata derita anak manusia . Fabula mereka tercatat dalam peliknya sejarah. Tak ada yang menyadarinya. Atau, tak ada yang mengakuinya? Tuhan datang dengan kemerdekaanNya. Agama hadir dengan kebebasannya. Dan manusia hadir dengan membelenggukan dirinya. Entah sampai bila lelucon ini begini. Catatan : *) Jenis fabula (isti

Sepasang Remaja dan Besikal Tua

Mereka tertawa menembusi kegarangan dunia Menyusuri lorong-lorong tanda tanya; melewati keheningan tanpa kata Padang-padang perhentian sinis menyapa Dan. Itulah mereka Masih bermanja di atas besikal tua Hidup Sederhana Roda-roda menapaki alam semesta Tak duli cabaran kemarau menggila; pun pula gemparan penghujan mendera Sekotak tulus menghembus Jadi angin segar di tengah busuk buruknya suara dengus Danau-danau persinggahan mengusir nyinyir Dan. Itulah mereka Masih bermesra di atas besikal tua Pahatan janji terlukis di bintang-bintang Ukiran sumpah tersurat di gelombang samudera Apalah guna bisik-bisik jikalau hati tak lagi terusik? Apalah guna sejuta pekik :      Bukankah asmara tak punah karena selusin dengki meringkik? Lembah-lembah harapan tersenyum ramah Dan. Itulah mereka Tetap merenda di atas besikal tua Ya. Itulah dia Sepasang remaja dan besikal tua mereka Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi *Terinspirasi Lagu Hidup Sederhana (Basikal Tua) di

Kelakar Sepi

Seorang lelaki. Berkelakar dengan sepi . Sendiri. Sendiri. Sendiri... Dia bertanya pada malam hari, "dimana kasih?" Sayang. Bintang bisu berdiam diri. Dia bertanya pada angin lirih, "dimana hati?" Sayang. Udara pucat pasi. Dia kembali berkelakar dengan sepi. Sendiri. Sendiri. Sendiri...                      ... menunggu pagi hari...

Bintang Malam Lalu

Menunggu Gelap Suatu Hari Nanti Manusia pongah. Langkah menggagah, seakan hidup 'kan selamanya. Suara menuai resah orang-orang lemah. Dan, mereka semakin tertawa menatap rintih tuah wajah -wajah tak berdaya. Pamflet merdeka mengudara. Menuding. Mendenging dari celah-celah ranting. Protes terbuka menyesaki jalan raya. Kata-kata, air mata membasahi telinga. Dan, darah pukulan di jidat mereka tetap tak mengubah derita. Luka masih mendunia. Tak ada yang menolong kita... Kedamaian , kejayaan, ketentraman hidup yang yang kau impikan : bagai bintang malam lalu . Singgahnya di atas rambutmu, tak jamin serupa di gulita waktumu kini. Rotasi. Revolusi. Gerak berontak. Bukan soal masa, bukan soal garis nasibnya. Ini soal aku , kamu, dia pada mereka : kutu busuk di tangga puncak rantai kebuasan . Harus kita diam kan, atau kita musnahkan? Padamu, kutanyakan! Sumber Gambar : Nikicomic - Wallpaper Star Night

Dusun Persinggahan

Tanah Impian Mendaki Perjalanan ku susuri Hening alam Sunyi diam Langit tersenyum dalam mendung yang mendegam Gentar hujan ku telan Ragu bayu ku singkirkan Petualangan ini menakjubkan Bagaimana mungkin harus ku tinggalkan? Dan kampung perhelaan menyapaku Tubuhnya merentang panorama Biru. Teduh menyeluruh Adakah kata mewakilinya selain 'pesona'? Adakah kesan memujinya selain 'indah'? Dan ku biarkan tubuhku,     hati ku,    pikirku,    dijajahnya hingga senja menenggelamkanku Di dalam rindu Di dalam jingga perhentianku Khusyuk menasbih wajah mu,    Duhai, Dusun Persinggahan     Sudikah kau menerimaku lagi nanti?    Setelah pengembaraan ini? Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi

Sepeda Tua

Berapa Harga Jasa Mereka? Sepeda tua Teronggok di dinding kumuh Menatap beku Di antara kebisingan sudut kota ku Beribu waktu ia habiskan di situ Menunggu sang Tuan Letakkan tumpukan koran Atau usai lunasi setoran Dan. Ia 'kan kembali berkelana Menerjang kebisuan jalanan Di kepungan janji tanpa perbincangan Kepungan asap adalah sahabat Percikan hujan karib yang erat Ketika saatnya tiba,     ia percaya Ia menutup hari di pasar desa Entah dalam barisan barang nostalgi Atau merepih setiap jengkal diri. Terjagal Apakah yang harus disesali? Bukankah karena dirinya sebuah keluarga tak kelaparan? Bukankah karena dirinya sejuta mimpi tergapaikan? Bukankah karena Tuhan melaluinya? Alasan apa 'tuk menyesali? Ia hanya sepeda tua Begitulah selamanya... Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi

Mengintip Dunia

Hambatan Malu -malu Sesosok manusia mengintip dunia Dari balik jendela Dari persembunyian hijau muda Sesekali mata nya perangah; Sesekali gelisah Sesekali mulutnya terbuka; Sesekali katup gulana Hatinya ingin ke sana : padang sabana yang tak terjamah olehnya Suara-suara memanggilnya, Suara-suara mengajaknya Dan. Gentar mengalahkan nyalinya Malu-malu Sesosok manusia melongok semesta Setiap hari Setiap kali bisik jiwa melambaikan tangan padanya Dan setiap itu pula : ia tak pernah bisa menyongsongnya Takkan pernah... Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi

Serdadu Tanah Airku

Darma Mulia Pada Bangsa & Negara Gegap langkah kakimu Bak irama merdeka Mengundang tawa nusantara jaya Hai, Serdadu ! Kemana kini kau menuju? Lantang suara. Tajam sorot mata Bak harimau sabana Menebar gentar serigala padang bulan Hai, Serdadu! Dimana kau labuhkan kokang senjata mu? Tekadmu ksatria Demikian kakek nenekku dulu ber kisah Laksana gelombang samudera Menyapu senyap kepengecutan bela bangsa Hai, Serdadu! Bagaimana kau dendangkan bisik hati mu? Serdadu tanah airku Serdadu ibu pertiwiku Haruskah kau sembunyikan jiwamu    di balik hasutan nafsumu? Haruskah kau kerdilkan sejarah    di tumpukan bangsatnya dunia ? Ah. Tak terlalu murahkah? Kepadamu, aku percaya Semoga... Sumber Gambar : TNI AD Official Website , TNI AU Official Website , TNI AL Official Website , dan Merdeka.com   dengan modifikasi Jejak-Jejak Manyar

Elegi Evolusi Tragedi

Masihkah Kita Tak Menyadari? - Dunia senjata, belasan musim di belakang kita Dulu. Ke mati an berawal dari kegilaan akalmu. Beranjak menjadi orasi. Berangkat menjadi pasukan besi. Invasi. Bumi terbelah; langit memerah. Samudera menjadi danau amarah. Telaga menjadi kolam simbahan darah. Mayat-mayat : tak terbungkus berkalang tanah . Tangis. Dendam meritmis. Krisis. - Dunia maya, seperempat detik di depan , balik, atas, bawah, dan celah ketiak kita Kini. Kematian berawal dari kebodohan akalmu. Beralih menyulap teknologi . Bergerak menyihir kemurnian hati. Kematian tradisi. Cinta terpisah; hasrat menuah. Jiwa menjelma padang   mazmumah . Dada merekah menampung petaka. Zombi-zombi : berlintas waktu di depan kaca . Pasrah. Menenggelamkan diri sendiri tanpa murka. Ironis. Elegi evolusi tragedi mematik. Miris menitik... Sumber Gambar : Berbagi Ilmu dan The Epoch Times dengan modifikasi Jejak-Jejak Manyar

Improvisasi

Improv! Tak perlu kaku Berjalanlah dengan iramamu! Kata siapa bising itu sinting? Kata siapa berdebu itu kelabu? Tengoklah riuh rendah di depan kepalamu! Keindahan mana yang seperti itu? Tak perlu kaku Berjalanlah! Berjalanlah! Dan, Tak perlu bisu! Bernyanyi lah dengan hatimu! Kata siapa sumbang itu jalang? Kata siapa buta nada memaksamu kehilangan suara ? Kata siapa, hah? Dengarkan sahut bunyi di balik telingamu! Kemerduan mana memersis itu? Tak perlu bisu! Bernyanyilah! Bernyanyilah! Improvisasilah! Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi

Merdeka (Dalam Langkah & Do'a)

Puja Aroma senja menyengat lamunku Ada diam di hatiku Ada sendu di pikirku Sayup angin bicara; sayup laut menerka Di pesisir ku termenung memandang cakrawala Bulan Qur'an singgah ribuan detik yang lalu Kini Tinggal bayang-bayang manis tersisa di balik punggungku Dulu. Ia singgah di hari yang sama denganku saat ini Dulu. Se musim yang lalu Dulu. Ia datang membawa taqwa Dulu. Bersama kidung-kidung pujangga teruntuk Dia Yang Maha Segala Dulu. Ia dendangkan damai Kini. Tinggal bias asa melerai : kegetiranku yang menyemai Ada kah bendera merdeka berkibar pesona? Adakah ia menegak sentausa dalam lantunan puja? Adakah? Aroma senja mengutuk lamunku Ada suara merdu memanggilku Ada tawa riuh menyapaku Mereka anakku. Mereka cucu ku. Mereka benih bangsa penerus cita Sayup angin menerpa; sayup laut mendamba Ku pinta pada Tuhan Yang Esa Merdeka bumiku : dalam langkah dan do'a Kini. Nanti Hingga lapuk jasadku di dasar bumi Hingga sajakku tak didengar l

Kebebasanku (Inilah Aku)

Dan Inilah Aku Dan inilah aku . Inilah kebebasanku . Haruskah kutegaskan padamu? Ku arungi langkah ku sendiri. Tak peduli apapun pendapatmu. Persetan dengan segala hujatmu. Inilah aku. Inilah jalan ku. Kata . Rima. Nada. Mengalir dalam darah mu memuja segala. Buat apa mendengarkan petuahmu jika kau gentar menjadi aku? Gunakah menuruti ocehmu jika kau tak mengenal alur takdirku? Inilah aku. Inilah hidup ku. Ku tak mau menuruti arus gelombang. Biarpun ia menegaskan pada lembah elok yang memadang . Ku tak mau mengikuti laju sang bayu. Untuk apa begitu?  Inilah aku. Inilah pikirku. Agama . Sejarah . Pandangan kekuasaan yang kau sodorkan di jidatku. Mengapa ku harus mengikutinya? Bukankah aku punya jiwa? Haruskah kau paksakan mereka seakan aku tak bisa membedakannya : mana yang benar dan mana yang salah ?  Kau lupa dirimu sendiri sesat memandang mereka? Haruskah ku mengikutinya? Inilah aku. Inilah hatiku. Ku lalui umurku dengan taqwaku. Asas. BisikanNya sudah menjelas. Seta

Telah Lalu

Ia Pergi; Jiwa Kita Pun Jua Telah lalu Ramadhan yang biru Ramadhan yang setahun lalu ku rindu Kini Jejaknya menjadi sepi Sepi menjadi buih Buih menjadi repih : kenangan yang kembali dinanti Habis sudah sepasang mata yang bersi kerjap Setiap kali terjaga dari lelap Setiap kali sahur sunnah kita 'tuk bersantap Habis sudah syukur di meja makan Setiap kali gaung bedug mengusir senja Setiap kali teja merah mengambang di udara Habis sudah persinggahan ke rumah Tuhan Setiap kali malam turun beriringan Setiap kali gema Isya' bersahutan Lihatlah mereka di kebisingan itu! Lihatlah mereka di keglamoran! Lihatlah mereka di persimpangan itu! Kita kembali berkejaran dengan bayang -bayang Kita kembali melesak menembus alam jalang Dunia yang sejenak kita selipkan di tikar ketaqwaan    kini kita kenakan    kini kita sombongkan    kini kita tunjukkan pada Tuhan       yang bersigeleng penuh keheranan Ah, Manusia . Beginilah manusia... Sumber Gambar : Doku

Salam Tempel (Potret Seorang Bocah)

Ada Pesan di Balik Kekayaanmu Seorang bocah Duduk manis di ruang tamu Jemari kecilnya yang lugu Silap-selip hitungi uang di saku Seribu, dua ribu    lima ribu, sepuluh ribu    ah, tiga puluh ribu Alhamdulillah , gumamnya lepas 'Untuk bantu Ummi membeli beras' Desau pikirnya yang bebas Teringat sepiring nasi yang dilahapnya berdua    hingga sunyi tak bersisa Malam takbir yang lalu... Subhanallah! *** Seorang bocah Bersijengkang di kamar remang Jari kekarnya koreki dompet mewah Mencoba jumlahi pemberian sanak saudara Sepuluh ribu, dua puluh ribu    seratus ribu, dua ratus ribu    ah, sejuta Pelit sekali mereka , gerutunya marah 'Tak leluasa ku beli potret gerak para bidadari jahiliah' Makinya sendiri bergumul desah Terbayang betina jalang di layar kaca syahwat, Terkilas semu kenikmatan yang lewat Terkenang ia akan tarian tangan yang leluasa    hingga pagi silau mengingatkannya Malam takbir yang lalu... Naudzubillah summa naudzubil

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1434 H

Alhamdulillah ALLAHU AKBAR ... Allahu akbar... Allahu akbar... La illaha illallahu allahu akbar... Allahu akbar wa lillahilham... Tak terasa Sahabat Manyar , tiba jualah kita semua di hari yang kita nantikan : hari kemenangan , hari kemerdekaan , hari yang fitri . 'Idul Fitri.' Dua kata yang kita sambut kedatangannya dengan berpuasa sebulan penuh di kala Ramadhan , tertib dan rutin menjalankan shalat tarawih, sedekah dengan ikhlas, menunaikan zakat fitrah, dan senantiasa memperbaiki diri serta memerangi hawa nafsu. The day has come , Sahabat Manyar. Perjuangan kita sebulan penuh Allah SWT. berikan ganjaran pada kita di hari ini. Insya Allah kita kembali dijadikan suci sebagaimana seorang bayi yang dilahirkan dari rahim ibunya. Insya Allah dosa-dosa kita yang menggunung telah Allah SWT. hapuskan dari diri kita. Insya Allah segala kebaikan dan ketaatan yang kita jalankan selama Ramadhan Allah SWT. ganjarkan pada kita di hari ini. Subhanallah... Alhamdulillah ... La

Zakat

Ketika Dunia Menguasai Hati Kita... Detik menjelang Batas akhir di ujung pandang Bagai kilatan pedang Senandung perpisahan sayat terdengar mengumandang Sendu mengerang Seratus juta wajah -wajah sayu Berselaput mega kelabu;    antri di barisan kaum layu Asa damba menerka Iman jua menyerba Yakin surya esok secercah bagi mereka Di sekeliling mereka Selusin kepala memandang dengan kecewa Tangan-tangan nista mereka;    ragu-ragu sisihkan zakat jiwa Kekikiran menitik nadir Fakir; nurani mengerdil Sementara itu Antrian makin membelakang Tengadah tangan-tangan harapan menjuntai ke langit Dan firman turun susupi hati yang sempit Dan... tiada terbangkit Seratus juta wajah-wajah lesu    menabur cemburu... Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi

Sedekah Kini (Dan Kikir Nanti)

Lihatlah hari ini ! Berbondong anak manusia Antri! Berdiri di muka pintu orang-orang papa Beginikah Kita? Raut senyum sapa mereka    bagai malaikat ambles dari surga Raut ramah duli mereka    laksana dermawan pujaan Menyuguhkan tangan dan perasaan Dan. Benar Memanglah demikian Untuk Ramadhan kali ini Nanti Ketika gema takbir Syawal menebal Nurani mereka kembali batu Curiga pada sosok wajah -wajah berdebu Mengutuk mereka menjadi penuduh Dengan jari menelapak angkuh Menolak. Menghardik Walau dengan hati mendelik Ah. RamadhanMu terlalu singkat, Tuhan ... Sumber Gambar : DuniaKorap dan Pejuang Mimpi dengan modifikasi Jejak-Jejak Manyar

Mengisi Detik-Detik Perginya Ramadhan - Jum'at Terakhir Ramadhan 1434 H

Kepergian Yang Disesali SAHABAT MANYAR , tibalah jua di Jum'at terakhir di bulan Ramadhan 1434 H . Hari-hari yang mulia di bulan Ramadhan segera berlalu. Puasa Ramadhan dan shalat tarawih yang memperkokoh solidaritas sosial  akan sirna. Tapi, kita harus bersyukur karena "jebakan" di bulan Ramadhan akan pergi untuk sebelas bulan ke depan dan selanjutnya... kita akan terjebak pada keduniawian lagi sampai sebelas bulan ke depan... Sesuai judul artikel kita di pertemuan terakhir kita ini edisi diskusi Jum'at Ramadhan, saya  akan mengajak Sahabat Manyar dimanapun berada untuk Mengisi Detik-Detik Perginya Ramadhan Tahun Ini . Sementara itu... silahkan letakkan ponsel yang menyibukkan Sahabat Manyar dari berpikir dan merenung soal sisa waktu kita di bulan Ramadhan ini. Silahkan matikan-atau setidaknya kecilkan- lagu yang melupakan Sahabat Manyar dari kekhusyukan ibadah di akhir Ramadhan tahun ini. Terakhir, silahkan Sahabat Manyar tutup tab-tab  atau jende

Kau Ketuk Kami

Nikmat Mana Lagi Yang (Bisa) Kami Ingkari? Lama kami meninggalkan kenangan kami tentangMu Dan... Kau ketuk pintu hati kami , Ya Rabb    yang angkuh memandang barzah    yang sombong merengkuh dunia Kau ketuk ia. Dengan cinta yang memelita Lama kami melupakan kehadiran DzatMu Dan... Kau ketuk mata hati kami, Ya Allah    yang silap mengejar harta    yang bakhil  sekedar menderma Kau ketuk ia. Dengan kemurahan rizki yang setia Terlalu lama kami mengacuhkan sinar terangMu Dan... Kau ketuk jalan hidup kami , Ya Kariim    yang sesat menapaki bumi    yang bodoh menghiasi hari Kau ketuk ia. Dengan petunjuk dan hidayah nan bergelora Ya Ghaffar.. . Untuk alasan apakah kini kami mengabaikanMu? Sumber Gambar : Wholles dengan modifikasi Jejak-Jejak Manyar