Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Percaya

Lavela di depan rumah runduk tanpa daya Daunnya layu Bunga ungunya sendu dan luruh Tubuhnya kuyu; batinnya rapuh Tanah pindahan dari pot penyemaian meracik trauma beratus musiman Orang-orang berkata,  'Potonglah saja dan tanamlah bunga segar apapun yang kau suka' Aku tak bisa berkata-kata selain melihat mereka mengitar menyembah lavela yang kembali menguduskan jiwa dengan hijau ungu daun dan bunganya     pagi ini...

Kalibata Utara

Jalan-jalan menjalin angan dan ingin dalam semilir angin yang selinap dari lorong paling dingin Tepianmu pagar-pagar yang tak menjelma tagar melainkan sekerat lapar pada semangkuk sapa segar yang entah dimana kini terkapar Di jalan-jalanmu kendala tiada jadi kendali karena sunyi menjadi puisi dan alergi menjadi elegi di antara selang seling polusi kiriman Simpang Tugu Pancoran atau Terminal Kampung Rambutan Di jalanmu yang tak senggang, gang-gang mengurap garang menjadi sekeping taman sabar atau sekavling hutan tegar Di jalanmu, aku menumpang tunggu pada aroma rindu yang diuap dari gelap dan perlahan bertubuh lengkap Bersiap kemudian ia menghadap jika nanti kita mulai putus harap Di jalanmu... 

Simpang Tiga Kalibata

Aku dengar dengusmu di antara batu-batu pinggiran jalanmu Di pikuk kikuk laku sekelilingmu,  merayap cerita darimu, bahkan dari sela-sela kuku kakimu yang bisu dan lesu, menyapa pagi yang selalu mengganggu  semu malammu Pekuburan itu seperti mengamatimu; mengambil tempat di sela detik ajalmu yang ditalqin pada senggang waktu Pagar-pagar makam itu menyatu dengan seribu satu pertanyaan kelabu : " Berapa tahun lagi jasadmu utuh? " Tak ada jawaban dari lampu merah di persimpanganmu situ Seorang bapak penjaja tisu mengelap peluh dengan belacu Kamu menyelinap di sendu kalbu Kamu mengendap di dasar isakmu Di balik telinga bapak penjaja tisu, yang bergegas lalu dikunyah waktu, kau cetuskan peluru dari gerammu ke dahi pejalan kaki yang terhalang polusi yang tak tertilang oleh jutaan polisi Di balik telinga si bapak penjaja tisu, yang mengabu di pemulasaran mimpi lalu, kau letupkan nuklir dari jengahmu ke lubang hidung pengemudi yang terpalang deviasi peta serba bisa dalam ponsel-ponse

Candu Bahasa

Ragam kata kekang oleh makna Dibatasi norma dan kaidah Seperti belenggu paling hina bagi pujangga lara Diam-diam terjalin diksi menjadi syair elegi atau kisah mini ironi Kita menerka apakah mereka  lolos sensor dan suntingan editor Yang jelas kita tahu seratus ribu kepala terlanjur candu lalu menggila di jalan-jalan kotamu,  atau menyinting kantor bapakmu,  atau bahkan lantai dansa bikinan ibumu Yang kita sepenuhnya tahu kungkungnya melenakan batu yang berkitar di antara akalmu dan akalku Yang kita tahu : kita sebagian dari mereka itu

Cenayang

Orang bilang sebaik-baiknya cenayang adalah penulis puisi Sesajen larik lima kata atau menyan sekumpulan rima jadilah mereka juru hubung paling berdaya antara angan dan ingin kita dan antara keduanya dengan jati diri kita yang sibuk menjadi perantara dari kuasa yang menindas kita

Remote

Tombol tolol seperti tubuh bertotol Penuh angka atau abjad belaka bahkan tanda-tanda penuh tanya Pada iklan yang tawar, pada sandiwara paling hambar, kita pindah pada tayangan segar : pameran kemiskinan atau kedukaan Hai, layar kaca, antenemu setinggi igauan sudah setiakah menunggu jawaban : Nomor berapa hendak ditekan? 

Skrip

Kau membaca ribuan kali skrip yang coba mereka jadikan gaib Tak berdaya. Kata-katanya,  lariknya. Kalimat dan alinea dalam lembarannya membuatmu benar-benar merasa sebagai budak paling sahaya Kau masih coba membaca,  namun di kepala hanya gambaran punggung berdarah,  lutut luka terbuka,  dan seratus jejak nanah maha celaka yang mengepang kenang ke dalam sejarah Kau terus membaca itu skrip penuh aib Ketika jam berdegam dan malam sepenuhnya diam, kabar kota mewartakan kau minggat diam-diam Tak tahan memikul dendam

Bunga Laut

Adakah alur gelombang membawa senyummu balur di antara lumur dan pupur hatimu yang lumpur? Kangkang batu karang menegakkan diagnosa seekor cangkalang yang meramal rumahnya dan seratus juta kawan sebayanya tak layak tinggal bahkan untuk sebuah khayal Girang batu karang pada cacahan arus gelombang menerawang fatwa kura-kura : 'Secepat apapun kau berusaha,  musnahmu adalah karya mereka' telunjuk pada jidat nelayan renta yang sudah menukar jala dengan backhoe  tua Adakah jejak gelombang membawa tualang sepasang gurita, sepasang cumi,  sekawan nestapa, dan selaksa sunyi ke dalam palung dan relung runtuh yang coba jelma perahu Nuh? Wajahmu hanya sipu di batas keluh kesahku dan tapal butiran diksiku Lalu warta, lalu cerita lalu tumbuh menjadi legenda yang entah didengar siapa ketika penaku menutup mata di ujung pagut, hei Bunga Laut

Salak

Sebiji salak dicukili si anak gagak yang pamit beranjak dari pekuburan Widji yang layak Ia tinggalkan cuplikan kulit di antara bayang-bayang langit Ia cecapi; ia sesapi itu daging buah dari Kintamani sebelum menyisa bulat benih yang ia tinggalkan di lembaran puisi ini Berharap tumbuh kembali

Sabtu Siang Bersama Kunang-kunang

Orang bilang ' Matahari bangun kepagian! ' Dasar goblok!  Yang kesiangan itu aku karena alarm di kepalaku habis baterai dan menyihirku lelap dan menyulapku lalai Tapi tak apa Ini Sabtu siang , ketika matahari sedang panggang-panggangnya, aku sempatkan menyeduh teh tawar bersama sepasang kunang-kunang yang terlambat keluar Kami bertiga menyeduh teh yang sama,  di meja yang sama,  di beranda rumah tetangga Kami bertiga sibuk menunggu malam tiba sambil berharap senja segera musnah lalu gelap yang didamba menyapa dan ranjang paling dicinta kami jumpa hingga kesiangan lagi dan penjilat menyalahkan matahari lagi

Kirab Bangau Kertas

Sayap-sayap enggan lelap Kepak meniti jejak; menuruti tapak sepijak demi sepijak Matahari beranjak. Lihat : bangau-bangau kertas berarak Ada yang tertinggal di barak-barak Ada yang ditinggal di lapuk lapak Jika tidak duka, sudah pasti putus asa Sayap-sayap menuju lengkap Pada rembulan mereka menghadap Pada bintang mereka berharap : Kiranya pagi menyambut tanpa gagap? 

Mencari Riwayat

Seorang penyidik, konon dari kalangan terdidik, sibuk mendelik halaman sambil bergidik Jarinya menekan tuts  papan ketik komputer meja seperti menanda ajal seseorang makin dekat saja 'Hei! Sudah dapat riwayatnya?' 'Belum, Kapten! Tanggung mau habiskan ini ramen.' 'Huuu! Asu.' Ia sang penyidik, yang notabene makin mendelik, kini tampak kian bergidik Laman demi laman tak ia dapatkan jawaban tentang kapan sejarah itu dihilangkan dan dongeng itu dimuat dan disebarluaskan Laman demi laman makin tak memuaskan Ia buka laman pencarian dan ketikkan keyword yang diyakinkan AWAL MULA DUSTA ADA Tekan enter  dan beeeeeer Kosong! Tak ada situs disarankan 'Hei! Buruan temukan riwayat yang kita butuhkan!' 'Bentar, Kapten! Sekarang waktunya nenen.' 'Aduh, jancuk!' Ia penyidik paling mbethik , yang katanya paling baik, beranjak ke mesin ketik Dipasangnya selembar kertas, ditatanya pita dengan pas, lalu jari menari seperti Pram me

Hehe Wa Hehe

Hehe wa hehe Ada bocah botak teriak hore Hehe wa hehe Padahal tak menang satupun lotre Hehe wa hehe Saat kutanya " Untuk apa ber-hore? " Hehe wa hehe Ia tertawa, "Bandarnya kere kini diare" Hehe wa hehe

Jatuh Cinta

Tiba-tiba kepala ia sihir seperti terpisah Mata meninggalkan lubang kediamannya Lidah kaku. Telinga beku Hidung dan saraf-saraf peraba tak lagi bekerja Dan jatuh cinta Tiba-tiba kepala ia sulap seperti menyirna Tinggal aku , kamu dan sesuatu yang mengganggu di antara tubuhmu dan tubuhku Selaput tipis yang ingin segegas kita tepis

Berbicara Kepada Api

Aku mengurung molek tubuhmu di antara tangkup tangan kotorku Di antara jingkat kakiku, aku memenjarakan kamu bersama keingintahuanku : mengapa api disematkan jadi namamu? Sebelas menit , sebelas detik pada sebelas jam yang lalu aku ingat-ingat bagaimana percakapan kita liat dan jilat Yang kuingat saat itu gerimis tiba-tiba mampir lalu dingin hadir lalu kamu mlipir  dari kegelapan paling sumir Sebelas menit, sebelas detik pada sebelas jam yang lalu aku teringat pertanyaan pertama yang mencuat : mengapa api dijulukkan sebagai kamu? Lama setelah itu aku meninggalkan kamu Bersiul-siul, aku bernyanyi berharap nadaku makbul memanggil rindu yang menjadi salju saking lamanya tak pernah disentuh Tiba-tiba, salju! Aku ingat salju yang membekukan rindu (atau rindu yang sebeku salju?) dan membuatku teringat padamu Lekas-lekas aku bergegas begitu beringas tancap gas ke sudut dimana terakhir tadi kau kulepas ' Mengapa api disematkan jadi namamu? ' ' Mengapa

Buku

Aku membuka ruas ruh mu yang bisu Keriput bulu badanmu sekeriput hidupmu yang kaku melawan waktu Tubuhmu dipadatkan, dimampatkan Disihir jadi tak tersentuh Disulap makin tak bertubuh Patahan tulangmu membangunkan masa lalu yang begitu rindu padamu Lengkingan tangismu membangkitkan jasad silam yang dendam tak mampu memilikimu Lalu, aku sering bercanda dengan adik kelasku Apalah gunamu nongkrong  di etalase itu?

Sekuncup Mawar di Batas Fajar

: Teresa from Calcuta Malam teramat panjang, Sayang Mengapa begitu panjang dirimu bertualang?  Tidak dulikah engkau pada ranjang yang me rindu kan dirimu berbaring dengan tenang? Senyum purnama dari rimba kota menjelma matahari di ubun benua Ya, bungamu, Sayang dan dataran yang memandang sebelah mata pada nyanyian lambung dan senandung dahaga  yang mendung Kelopak bungamu memancing kumbang dan kupu bertandang Kalian berbincang lalu tiba-tiba menjadi terang Seakan purnama melipat ganda dan gelap seketika sirna Se-a-kan Hampir pagi Fajar menjelang sesaat lagi Musim semi. Musim sunyi Angin berlari membawamu menepi Wajahmu tua, Sayang Wajah mu lelah Kemarilah, Sayang Ini ranjang sudah berdentang Ini jarum jam sudah berdendang Hampir pagi, Sayang Fajar menjelang sesaat lagi Kemari Mari hadir di dalam puisi Maka kau abadi Maka kau lestari Meski bau kakimu sudah tak tercium lagi

Bening

Pada suatu meja Pada suatu papan tanda Kulihat sinar cahaya turun pada kedua binar matanya Angin membisikkan gairah dan sadarku mematikan ia Aku masih tenggelam dalam rasa Menghirup aroma malam; mencecap nuansa diam Pada suatu titik Pada suatu betik Takdir membisikkan saatnya aku berbalik menuju gua lamunan tentang beningnya yang semanis ampunan

Ada Api di Saku Kemejaku

Ada api di saku kemejaku yang menyala dari puntung rinduku Jemariku tak berdaya memadamkannya Pun dengan segelas air telaga yang lahir dari bekas air mata Api di saku kemejaku makin gelora Panasnya menyambar jambangku lalu lidahku lalu hidungku lalu kupingku lalu sekujur jiwaku Ada api di jasadku yang menggila dari batang kangenku yang menggula luka renjana ku

Pada Suatu

// Pada suatu batu aku menemukan diriku Memerangkapkan diri dalam beku aku menemukan diriku pada suatu batu \\ Dan pada suatu kayu aku mendapati nama ku Menyerak dalam puing-puing debu aku mendapati namaku pada suatu kayu // Akhirnya pada suatu guyu aku mengaburkan tentangku Menghilangkan catatan dari semua halaman buku seperti eyangku, eyangmu dan mungkin ayah kita dulu saat menghilangkan orang-orang tak bersalah tahun enam puluhan lalu dan tak lagi kau dapati aku pada suatu guyu

Nah!

Nah! Aku menemukan nah di antara aliran basah nanah yang mencemari gersang ranah Aku bertahan dalam iming-iming sunah dan bermimpi terangkat segala fitnah Saat nah  menjadi genah

Kawah Wurung

// Ada stepa dan ilalang membawaku kepadamu. Ya, kepadamu, Kekasihku. Kepada kamu yang menyimpan selustrum kerinduan bisu. Kepada kamu yang memendam seabad penantian kelu. Kepada kamu yang asyik bermain di telaga waktu dengan sekawanan bangau kertas yang terbangun di hulu-hulu alas dan enggan mentas : sebab udara sejuk ini membuatmu seakan bebas . \\ Adapun serumpun bunga-bunga tumbuh menyibak jelaga. Ada anak kancil berlari di antara otak-otak dekil yang kerdil; yang susah dijauhkan dari pencil. Ada anak belalang berkejaran dengan angin yang membawanya julang, terbang; jauh ke awang-awang. Lantas mata mungilnya melihat bumi semakin tua, semakin pasrah. Mata mungilnya lalu melihat kamu yang masih nyaman dengan sajak-sajakku tanpa tahu kata-kataku sudah ramu bersama kamu yang masih lena dengan warisanku. Ah, dasar kamu! // Adakah sejarak jangat menjadikan penasaranku yang begitu hebat menemu obat tentang mengapa tubuh agungmu yang seharusnya pundung menjadi wurung ? Adakah se

Ada Siapa Di Punggung Kita?

Aku merasa ada sesuatu di punggungmu dan punggungku. Sesuatu yang membuat bahu memikul dan tulang belakang terpukul-pukul, sedangkan kita bukan tukang pikul yang terbiasa dipukul-pukul oleh jarum jam, pentul menit, atau pendulum detik Kita hanya manusia yang biasa pelik Aku merasa sungguh ada sesuatu di punggung mu dan punggungku. Sesuatu itu sesekali merayap di kepala lalu singgah di daun telinga lalu rebah di antara logika dan rasa. Ya, rasa yang wabah oleh katanya atau sepertinya . Lantas kita menjadi kuli kebun-kebun Deli yang diingat sebagai alas kaki jongos kompeni atau mungkin priyayi berkasut kulit sapi yang bersolek menjadi sang maharaja senyatanya budak paling nyata Aku merasa tidak ayal lagi ada sesuatu di punggung kita yang tiba-tiba ia bertangan lalu berkaki lalu berlidah lalu bergetah lalu berludah atau bersperma. Basah yang dibuatnya begitu amat perkasa melahirkan jarak dan jejak yang jamak membuat kita semakin tampak menjadi pengembara

Jusuf Memungut Rembulan

: B.J.H Jusuf bersijingkat melangkah ke dapur dengan lambat Ia lihat : rembulan terdamprat! Wajahnya retak sangat Matanya merah; menangis sia-sia Ia sembunyi di balik pintu ; menunggu sepuluh, dua puluh lelaki dungu itu berlalu dan meninggalkan si rembulan sendiri dan tersedu Ia masih sembunyi di balik pintu ketika lelaki-lelaki itu perlahan menjauh dan tawa mereka sumbang berlalu Jusuf mendekat malu-malu Ia menutup mata; tak tega melihat rembulan compang-camping di baju Ia memejam mata. Tak kuasa melihat rembulan berdarah di muka, di bahu, di dada, dan di di di di .... Jusuf menjingkat membawa gumpalan kain belacu Ia rentangkan lebar-lebar. Ia bentangkan dan berkibar Menjelma bendera. Menjelma sang saka Ia kudungkan ke pundak rembulan yang masih sendu Selepas itu, perlahan ia menjauh lalu berlalu tapi tak seperti sepuluh, dua puluh lelaki dungu lalu Ia tak tertawa. Pun tak menebar tuah dan ludah seperti mereka Ia meninggalkan punggung yang menjadi cermin r

Matahari di Kaki Budi*

Ada matahari di kaki Budi yang mengintip di mula pagi ketika bibir jelita perempuan dini hari meniupkan asap rokok yang letih menanti si tuan tak datang lagi Ada matahari di kaki Budi sekali-kali memendarkan sinar ambisi Akan tetapi, cahaya itu mati ketika seorang bayi menangis tak dikenali Ada matahari di kaki Budi yang kini sudah setinggi mimpi Lihat! Jidat Budi diembat! Pekat, berkeringat. Budi lunglai di simpang empat Ada kaki Budi di matahari yang perlahan menenggelamkan diri dalam sunyi kota hewani yang ditaburi remah kata puisi *Terinspirasi Sore Tugu Pancoran , dipopulerkan Iwan Fals.