Di tugu kotamu , aku menemukan diriku rikuh dan malu-malu Aku mencoba mengingat kembali sudut-sudut yang dulu kukenali sekali Sungguh, sangat aku kenali Nyatanya kini wajahmu begitu abu Penuh sungkan aku menyapamu Di tugu kotamu, aku mendapati jiwaku begitu kaku Tak seakrab dahulu Trotoar Malioboro menjelma dahaga; Alun-alun Kota ranggas dedaun beringinnya Gudeg menjelma judek Sreg menjelma amblek Hangatmu menghablur menghambur menjelma batang sangkur, pisau cukur, atau sabit Mak Kur yang sawahnya akur di antara jalanan tol yang kufur, bandara adiluhur, dan aristokrasi yang mulai lantur Di Tugu Jogjamu, aku kehilangan minatku Hasratku lembab di antara sembab mata yang berasap ditikam marah, dihujam gelisah, diterkam puruk dan pasrah Maka, kubiarkan jemariku klitih merogoh suci diksi-diksi yang kumiliki Barangkali pada sisa keindahan rima , masih kutemukan remah wajahmu yang ramah Dan di hariku yang menua kutemukan jawaban purba tentang pelataran untukku rebah Ya, di wajahmu Jika Cil
Koran-koran menyembunyikan diri Pagi ini, angin muson membatasi diri dan memanggil kawannya lagi meniupkan amarah ke penjuru bumi Koran-koran mengkhalwatkan diri! Kolom-kolom mereka menguping mati yang baru semalam terjadi di Lubang Buaya yang sunyi Aroma nyawa masih terasa menyelinap ke kaki Patung Dirgantara dan tembus ke Istana Darah! Darah meresap ke dalam tanah menuju air bawah menuju sumber segala gelisah menuju palung gulita dari sejarah yang tak kita kenali wajahnya Koran-koran menghentikan tubuhnya ditulisi Mereka mengintip gersang yang mulai datang dari pepohonan jalang yang hanya bisa memandang satu, dua cecunguk berlagak melangkah tanpa tunduk menuju gerbang riwayat yang akan dibuat yang akan diralat yang akan diserbahebatkan Koran-koran tahu diri untuk tak bersuara kini Mereka sadar ada yang akan menjerat mereka punya tulang belikat Hingga hampir separuh abad Hingga hampir cerita negeri ini tamat Maka, koran-koran membatasi napas nya Mereka biarkan kemarau mengusir hu