Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2019

Ada Siapa Di Punggung Kita?

Aku merasa ada sesuatu di punggungmu dan punggungku. Sesuatu yang membuat bahu memikul dan tulang belakang terpukul-pukul, sedangkan kita bukan tukang pikul yang terbiasa dipukul-pukul oleh jarum jam, pentul menit, atau pendulum detik Kita hanya manusia yang biasa pelik Aku merasa sungguh ada sesuatu di punggung mu dan punggungku. Sesuatu itu sesekali merayap di kepala lalu singgah di daun telinga lalu rebah di antara logika dan rasa. Ya, rasa yang wabah oleh katanya atau sepertinya . Lantas kita menjadi kuli kebun-kebun Deli yang diingat sebagai alas kaki jongos kompeni atau mungkin priyayi berkasut kulit sapi yang bersolek menjadi sang maharaja senyatanya budak paling nyata Aku merasa tidak ayal lagi ada sesuatu di punggung kita yang tiba-tiba ia bertangan lalu berkaki lalu berlidah lalu bergetah lalu berludah atau bersperma. Basah yang dibuatnya begitu amat perkasa melahirkan jarak dan jejak yang jamak membuat kita semakin tampak menjadi pengembara

Jusuf Memungut Rembulan

: B.J.H Jusuf bersijingkat melangkah ke dapur dengan lambat Ia lihat : rembulan terdamprat! Wajahnya retak sangat Matanya merah; menangis sia-sia Ia sembunyi di balik pintu ; menunggu sepuluh, dua puluh lelaki dungu itu berlalu dan meninggalkan si rembulan sendiri dan tersedu Ia masih sembunyi di balik pintu ketika lelaki-lelaki itu perlahan menjauh dan tawa mereka sumbang berlalu Jusuf mendekat malu-malu Ia menutup mata; tak tega melihat rembulan compang-camping di baju Ia memejam mata. Tak kuasa melihat rembulan berdarah di muka, di bahu, di dada, dan di di di di .... Jusuf menjingkat membawa gumpalan kain belacu Ia rentangkan lebar-lebar. Ia bentangkan dan berkibar Menjelma bendera. Menjelma sang saka Ia kudungkan ke pundak rembulan yang masih sendu Selepas itu, perlahan ia menjauh lalu berlalu tapi tak seperti sepuluh, dua puluh lelaki dungu lalu Ia tak tertawa. Pun tak menebar tuah dan ludah seperti mereka Ia meninggalkan punggung yang menjadi cermin r

Matahari di Kaki Budi*

Ada matahari di kaki Budi yang mengintip di mula pagi ketika bibir jelita perempuan dini hari meniupkan asap rokok yang letih menanti si tuan tak datang lagi Ada matahari di kaki Budi sekali-kali memendarkan sinar ambisi Akan tetapi, cahaya itu mati ketika seorang bayi menangis tak dikenali Ada matahari di kaki Budi yang kini sudah setinggi mimpi Lihat! Jidat Budi diembat! Pekat, berkeringat. Budi lunglai di simpang empat Ada kaki Budi di matahari yang perlahan menenggelamkan diri dalam sunyi kota hewani yang ditaburi remah kata puisi *Terinspirasi Sore Tugu Pancoran , dipopulerkan Iwan Fals.