Langsung ke konten utama

Matahari Kelabu

Hutang Negara
Menyesak
Duka mendalam, mendegam. Menghantam
Di bawah kemucur sinar pagi
Lelaki itu
Sendiri menanggung sepi
Si sulung termangu memandang sekitar
Tanpa sadar: Adiknya mati di lantai gerobak
Milik sang Bapak

Tak ada yang mendengar jerit hatimu
Maka. Kau berjalan
Berjalan
Kembali berjalan
Memintasi lirih dan luka nyeri
Melintasi gigil kerdilnya kota yang culas
Bayang-bayang damba
Memunah menjadi ringkas: nelangsa
Sesal yang menggumpal
Membuatmu terus berjalan
Berjalan
Terus berjalan
Menembangkan derita dan kematian
Menuju Stasiun Kereta

Tapi. Entah apa maksud Tuhan
Belum habis sayatan kau sembuhkan
Karang terjang menghadang, menghalang. Menjengkang
Bapak Polisi: "Belum cukupkah nanah ini?"
Tapi ia tak pernah mengerti. Takkan cukup memahami
Dan. Dengan beban kau ikuti langkah mereka
Tertundalah tidur damai si Bunga Jelita

Namun
Lorong hitam yang kau datangi tak jua memancing duli
Engkau: dengan ikhlas mereka lepas
Lagi. Kau. Kembali berjalan kaki
Kembali menghitung: berapa ratus partikel sunyi yang mesti kau pangguli
Kau bimbang: "Kemana harus ku sandangkan beban?"
Dan negara satu-satunya makhluk yang sembunyi lebih dulu. Saat itu

Lalu. Bagai pengemis tua
Derma demi derma turun menjadi kilatan cahaya
Dengannya kau kembali menuntun langkah
Menuju entah kemana
Mencari entah siapa
Berharap Tuhan (masih) menolongnya
***
Maka. Memang
Demikianlah elegi anak bangsa enam tahun lalu
Juni-lima-dua ribu lima
Ketika negara dengan gagah "Kobarkan semangat para Pemuda!"
Maka dengan gagah pula ia sembunyi ketika satu anak rahimnya:
Telungkup mati tak ada yang mau peduli

Ketika negara dengan perkasa berkata: "Mari kita membangun negeri!"
Seketika itu pula ia berlari
Lantaran ngeri mencium aroma busuk mayat yang mati
Sang penerus cilik
Mati tanpa kafan menjarik

Di istana sana
Di pencakar langit pemegang trah
Dan. Kantor-kantor sohor para patih
Senopati
Mahapatih
Di rumah siput Tuan yang arif bijaksana
Apa kabar, Kawan?
Trenyuh kah kau mendengarnya?

Kini
Memang semusim telah lalu
Dan kini
Memang semusim telah membisu
Namun: luka hati takkan pernah lalu
Tragedi ini tetap akan menjadi mimpi terburuk kami
Menyusup dari celah pintu
Merayap ke dalam selimut dan mencekik harapan kami
Ketika kalian-Para Pemegang Tampuk-tak lagi mengerti: seberapa remuk hati kami tanpa bentuk
Saat itulah kami merajang namamu dalam pena
Dan mengumbarnya pada udara
Lantas berharap: halilintar mendengar
Agar bisa ia menyambar wajah kalian. Dengan kemarahan

Kuyakin Tuhan (akan) sepemikiran
***
Menyesak
Duka mendalam, mendegam. Mengelam
Di bawah kemucur sinar pagi
Lelaki itu
Sendiri berkawan sunyi
Ia pandangi daun kecipir di teras tetangga
Lalu. Lirih perih ia berkata:
"Nak,
Maafkan Bapak 'mengorbankan' dirimu..."
Sembari menyeka air mata yang tumpah

Langit pun berduka...


*Didedikasikan kepada Supriono dan orang-orang yang serupa dengannya. Tuhan tak pernah tidur...

Sumber Tulisan: Republik Madura, Tempo Online

Sumber Foto: Republik Madura

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The End of The Holiday ^.^

Menyambut Esok Yup. Saya pikir inilah saat terakhir saya ngabisin hari libur. Masa reses. Masa menenangkan diri dan menjauhkan diri dari aktivitas perkuliahan dan tugas-tugas yang naujubillah banyak banget. Ini hari terakhir, meskipun masih kesisa sehari besok, buat memikirkan rencana masa depan. Kenapa hari terakhir? Ya karena mulai Senin besok lusa nggak ada lagi rencana. It's time to action! Setuju? ^.^ Senin, jam 7 pagi, sejarah semester 4 studi saya dimulai. Dosen baru, suasana baru. Target-target baru. Saya yakin, sepanjang hati kita yakin, kita bisa melakukan apa aja. Kebaikan apa aja. Kesuksesan apapun meski terlihat rumit dan mustahil. Dan hal ini yang akan saya lakukan: Agraria harus dapat nilai A!!!! Itu tekad saya buat si dosen killer yang bakal jadi dosen di kelas yang saya ambil semester ini. Semoga ini bukan keputusan goblok saya. Tuhan, Ya Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, berikan petunjuk dan kemudahan bagi hamba. Aamiin... So, bagaimana denga

Aku Tertawa

Bayi pun Turut Menertawakanmu Aku tertawa Melihatmu Berebut gundu dengan bibir berlumas gincu Tapi, Aku lebih tertawa lagi Melihatmu sendiri Tergugu dan nyeri Ketika biji gundu itu melesat ke dahi ..... Bekas dan jelas Sumber Gambar : Google

Wahai... (Akhir Mimpi)

Nestapa Bunga-bunga layu Daun-daun Runtuh dalam pelukan kelabu Wahai , Sepi Mengapa musim begitu keji? Sepasang mata Tegak menyongsong derita Jemari mungil penuh luka Memeluk tangkai si kuncup dahlia Yang mulai kering dan punah Wahai, Dingin Seberapa panjang membaluti serbuan angin? Lembah itu Semakin kusam dan berdebu Matahari bisa mengingatnya Di atas batu Ya! Di atas batu itu Semusim lalu Seekor jantan asyik mencumbui betinanya Ya! Di atas batu itu Sang betina pasrah menerima kekasihnya Dan langit Dan bumi Dan semesta raya Ikhlas menerima mereka Mengalirlah gairah dalam cinta Semusim yang lalu... Wahai, Waktu Mengapa dengki nian kau berlaku? Halilintar Suatu hari datang dan mengantar Sepucuk kabar Bahwa cinta harus merepih dan buyar Merepihlah mimpi-mimpi Memuinglah rimbun kasih Air mata . Apakah guna? Cucur darah. Bisakah mengubah? Dan mereka berpisah di antara linang tangisan senja Merantau dalam galau Merundung dalam kabung San