Langsung ke konten utama

Bai Fang Li, Cahaya di Redup Senja

Bai Fang Li, sang Mentari
.....Cahaya di Redup Senja.....
 
Aku tak tahu
Atas dasar apa Tuhan meledek kami lewat dikau
Aku juga tak tahu
Atas dasar apa Tuhan memungut engkau dari kami
Yang kami pahami: kami tak mampu seperti dikau
Meskipun dikau lebih sanggup menjadi seperti kami: Tak berhati...
***
Bai Fang Li
Nyaris otakku menyangka namamu
Seperti nama jajanan
Atau toko penyedia nisan

Nyaris otakku
Mengira dirimu bukan sesuatu
Hingga akhirnya aku tahu:
Kamilah yang bukan sesuatu!

Keringatmu masih bisa kucicipi di udara
Renta, ringkih, membungkuk badanmu yang layu
Mencetak asa kau di atas becak kayuhan yang bisu
Tak ada kata putus asa
Tak ada rasa sesal
Sementara kami dari sini mencekal. Miris

Dan pundi-pundi emas mengalir dari jemari keriput
Tak ada dengkimu memagut. Tak ada irimu cerabut
Tak ada kutukmu memagut
Mengalir. Ya! Tulus hatimu mengalir
Tanpa sadar: embun sudah menjadi banjir
Membasahi jiwa kami yang kikir

Dan. Ketika kau mulai payah
Dan. Ketika becak tua tak sanggup lagi melayah
Kami sentak merasa: waktumu hampir tiba
Sementara kami akan kembali sesat di belantara lupa
Dan mengais kembali lentera
Dalam luka yang lama
***
Bai Fang Li
Sejarah mencatatmu menjadi legenda
Dipajang di situs dunia maya
Menjadi puja dan memancing mata berkaca-kaca

Bai Fang Li
Kau tinggalkan kami tepat 93
Ketika nafas terakhirmu sirna
Kami lupa: berlutut di bawahmu, berpinta
"Kelak, 'pabila kau telah bertemu Dia
Sampaikan pada Tuhan kita
Untuk menjadikan kami seperti dirimu
Dan membuka hati
Agar tak senantiasa terkunci
Terpencil. Kecil. Dan mati"
Kami lupa melakukannya

Maka. Enam tahun kau pergi
Tuhan belum juga menyadarkan kami kembali
Sehingga: zombi-zombi masih berkeliaran
Sehingga: anjing binal masih terkucil dari kasih sayang
Sementara kami:
Berdasi, berjajar di lorong-lorong kantor dengan uang kotor
Berbaris, bercicit-cuit di ruang sidang dengan muka bengis
Sementara kami: bertumpukan harta di rumah
Membangun kerajaan temurun dan menggantungkan mimpi pada daun
Kami lupa: badai datang tak kenal tahun

Maka. Barangkali ketika saat itu tiba
Kami baru menyadarinya: kami tak punya apa di balik keapaan kami
Sebagaimana engkau yang memiliki apa di tengah ketiadaan apamu

Oh...
Tuhan. Lindungilah Kakek kami
Oh...
Tuhan. Jagalah Kakek kami

Wahai...
Tuhan. Jangan siksa kami..!
***
Aku (masih) tak tahu
Atas dasar apa Tuhan menguji kami dengan hadirmu
Dan. Aku juga tak tahu
Atas dasar apa Tuhan memilihmu. Sebagai nabi di tengah kekafiran kami
Yang kami pahami: kami memang kafir
Atau. Setidaknya murtad

Dan masih seperti itu. Ah.

*Didedikasikan kepada Bai Fang Li, kakek pengayuh becak yang dermawan dari Tianjin, Cina. Semoga arwahmu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Amin.

Sumber Foto: Resensi.Net

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The End of The Holiday ^.^

Menyambut Esok Yup. Saya pikir inilah saat terakhir saya ngabisin hari libur. Masa reses. Masa menenangkan diri dan menjauhkan diri dari aktivitas perkuliahan dan tugas-tugas yang naujubillah banyak banget. Ini hari terakhir, meskipun masih kesisa sehari besok, buat memikirkan rencana masa depan. Kenapa hari terakhir? Ya karena mulai Senin besok lusa nggak ada lagi rencana. It's time to action! Setuju? ^.^ Senin, jam 7 pagi, sejarah semester 4 studi saya dimulai. Dosen baru, suasana baru. Target-target baru. Saya yakin, sepanjang hati kita yakin, kita bisa melakukan apa aja. Kebaikan apa aja. Kesuksesan apapun meski terlihat rumit dan mustahil. Dan hal ini yang akan saya lakukan: Agraria harus dapat nilai A!!!! Itu tekad saya buat si dosen killer yang bakal jadi dosen di kelas yang saya ambil semester ini. Semoga ini bukan keputusan goblok saya. Tuhan, Ya Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, berikan petunjuk dan kemudahan bagi hamba. Aamiin... So, bagaimana denga

Aku Tertawa

Bayi pun Turut Menertawakanmu Aku tertawa Melihatmu Berebut gundu dengan bibir berlumas gincu Tapi, Aku lebih tertawa lagi Melihatmu sendiri Tergugu dan nyeri Ketika biji gundu itu melesat ke dahi ..... Bekas dan jelas Sumber Gambar : Google

Wahai... (Akhir Mimpi)

Nestapa Bunga-bunga layu Daun-daun Runtuh dalam pelukan kelabu Wahai , Sepi Mengapa musim begitu keji? Sepasang mata Tegak menyongsong derita Jemari mungil penuh luka Memeluk tangkai si kuncup dahlia Yang mulai kering dan punah Wahai, Dingin Seberapa panjang membaluti serbuan angin? Lembah itu Semakin kusam dan berdebu Matahari bisa mengingatnya Di atas batu Ya! Di atas batu itu Semusim lalu Seekor jantan asyik mencumbui betinanya Ya! Di atas batu itu Sang betina pasrah menerima kekasihnya Dan langit Dan bumi Dan semesta raya Ikhlas menerima mereka Mengalirlah gairah dalam cinta Semusim yang lalu... Wahai, Waktu Mengapa dengki nian kau berlaku? Halilintar Suatu hari datang dan mengantar Sepucuk kabar Bahwa cinta harus merepih dan buyar Merepihlah mimpi-mimpi Memuinglah rimbun kasih Air mata . Apakah guna? Cucur darah. Bisakah mengubah? Dan mereka berpisah di antara linang tangisan senja Merantau dalam galau Merundung dalam kabung San