Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Kemarau Oktober (Koran-koran)

Koran-koran menyembunyikan diri Pagi ini, angin muson membatasi diri dan memanggil kawannya lagi meniupkan amarah ke penjuru bumi Koran-koran mengkhalwatkan diri! Kolom-kolom mereka menguping mati yang baru semalam terjadi di Lubang Buaya yang sunyi Aroma nyawa masih terasa menyelinap ke kaki Patung Dirgantara dan tembus ke Istana Darah! Darah meresap ke dalam tanah menuju air bawah menuju sumber segala gelisah menuju palung gulita dari sejarah yang tak kita kenali wajahnya Koran-koran menghentikan tubuhnya ditulisi Mereka mengintip gersang yang mulai datang dari pepohonan jalang yang hanya bisa memandang satu, dua cecunguk berlagak melangkah tanpa tunduk menuju gerbang riwayat yang akan dibuat yang akan diralat yang akan diserbahebatkan Koran-koran tahu diri untuk tak bersuara kini Mereka sadar ada yang akan menjerat mereka punya tulang belikat Hingga hampir separuh abad Hingga hampir cerita negeri ini tamat Maka, koran-koran membatasi napas nya Mereka biarkan kemarau mengusir hu...

Malam Kudeta

Dulu, setiap malam begini, aku selalu dipaksa membelalakkan mata di depan layar kaca untuk berjam-jam lamanya Apalagi jika bukan menyaksikan lagi reka drama sejarah bangsa yang mulai dipertanyakan lagi siapa yang bertanggung jawab di balik darah mereka semua Dulu, setiap malam begini, Bapak dan Ibu memaksa aku yang belum tahu berapa satu ditambah satu dan mengapa mendung itu kelabu untuk menonton lagi, lagi, dan berkali-kali propaganda yang paling jeri Mengalahkan iklan paling jeli Dulu, setiap malam begini, orang-orang mulai berdongeng lagi bagaimana perwira-perwira itu dihabisi dengan lelucon yang tak kutemui bahkan dalam lautan puisi Soal silet-menyilet atau perkara  orgy  tak bersinglet: segalanya begitu obsolet Aku bertanya pada paklikku dimana pujangga pengarang kisah itu bisa kutemui Kepalaku malah dijotosi Kini, setiap malam begini, aku mulai duduk menepi Di pojokan paling misteri di sudut yang tak diketahui, kutinggalkan istri yang sudah kubuai ke dalam mimpi L...

Corona Tamasya

Konon kabarnya corona bertamasya Dia bosan menunggu saat kehadiran mereka: Ya'juj dan Ma'juj di tepian telaga dari persembunyian yang sudah direncana Konon sebagian mereka desersi dari kompi Berjaket atau rompi sebagian tak beralas kaki dan sebagian tak berpikir lagi siapa yang kali ini akan mereka habisi Ya, mereka tak peduli Konon katanya corona bertamasya Dari masa depan yang menjemukan, mereka meminjam Pintu Semau Gue untuk mencicipi seporsi kare tanpa sentuhan panel dan ponsel yang membuat mereka diare Dari masa depan mereka bermaksud mengingatkan: Ini belum prahara akhir jaman Jangan mengeluh kebanyakan, Kawan! Konon kiranya corona bertamasya Lihat! Mereka asyik bercawat berjajar di khatulistiwa kita Menertawakan kesambatan kita mengalahkan kedongkolan kita Cilegon, 13 September 2020

Pandemi

Kita sudah seharusnya berpasrah diri lalu berkumpul di lingkaran diksi dan bertukar tanda baca koma demi koma hingga tiba di titik jua Toh banyak merangkai kata tak terbaca juga oleh mata yang lelah begadang dalam amarah dan sibuk bertanya: Tuhan , salah kami apa? Sudahlah, kita berkumpul saja begini Kau, aku, dan dia dan mereka - dan entah siapa lagi nantinya - kita mulai menulis wasiat keramat Kita simpan itu amanat pada reranting batang langsat kawat Barangkali suatu kali angin lewat dan pandemi ini tamat, maka pesan purba kita terbaca entah oleh ahli warismu, ahli warisku, atau ahli warisnya atau ahli waris mereka atau entah ahli waris siapapun jua bahwa telah mati meninggalkan puisi seratus ribu batalyon pemimpi yang berharap bernyawa lagi jika pandemi pergi Ah, pun jika tidak setidaknya mereka tak sedungu ini merajut mimpi ketimbang memilih pergi Cilegon, 13 September 2020

Lowongan

Pandemi membuat koran susut dan sepi dari tangan para pencari jati diri dan seragam sementas kuliah kemarin pagi Job fair  menyisakan job unfair yang mana mimpi-mimpi melumer dan dendam kelam meluber menjadi pengangguran, menjadi pengantri di barisan kematian: jika tak kelaparan , ya wabah ini yang memuakkan Tangan-tangan tak pernah benar mencoba peduli Mereka perlahan kian menepi dan makin perlahan menyepi ke dalam puisi yang hanya bunyi di dalam lirih Ya, lirih Itu pun di bibir sumbing yang sumbang bersambung-sambung tak berujung lagi Maka, janganlah kau bertanya kepadaku: ' adakah lowongan hari ini? ' Karena bagiku hanya ada dua pekerjaan yang disediakan dalam musim bajingan ini: negosiator pandemi atau tukang gali Dan kau bisa dikenal sejarah paling wangi sebagai pemenang negosiasi damai dengan wabah abad ini Atau pilihan kedua: kau gantikan mereka yang mati lelah mengubur saudara sendiri Cilegon, 13 September 2020

Senyampang

Senyampang hati kita masih lapang dan pikiran kita demikian terang, sudikah bila malam ini aku datang lalu membujukmu ke ranjang lalu kita biarkan segalanya menjelang untuk kemudian mengerang untuk kemudian mengejang untuk kemudian terjatuh dalam mimpi panjang? Senyampang waktu kita masih belum jelang dan lonceng kapal belum meradang, sudikah bila pagi esok kan kuulang segala yang semalam kau tangisi dan kau jambaki dan tak kau sesali untuk kita kenang sebagai tanda pisah paling sunyi? Sudikah kau demikian, Kasih ? Cilegon, 06 September 2020

Euforian

Belasan tabib aku datangi setelah mantri tak sanggup lagi dan dokter sudah gigit jari Mereka bilang - entah sudah berbincang sebelumnya atau memang demikian adanya - bahwa kegilaanku sudah tak bisa diobati Tak ada terungku yang mampu menahanku dan tak ada pasungan yang bersedia mengurungku Maka aku berkeliaran ke seluk-beluk tubuhmu lalu asyik-masyuk ke rongga-ronggamu dan tunduk amuk di lorong-lorong jati dirimu Kau - yang dengan sabar menimangku di dadamu - tak pernah mengeluh atas keliaranku atau kebingaranku atau kesialanku Kamu - yang dengan gegar membalurkan ciuman di heningku - tak pernah sesal atas keinginanku atau kekhilafanku atau kesengajaanku Ya, diri mu - yang aku tahu menjelma penuh dalam aku - adalah peluru yang kutunggu menembus tembok nurani Ah, ternyata kamu euforianku Cilegon, 06 September 2020

Kekalahanku

Tak ada yang pantas kusisakan dariku Pun yang akan kautinggalkan padaku selain kekalahanku Ya, kekalahanku memenangkan pertarungan di hatimu Telah habis segala usahaku dalam tujuh turunan dan tujuh pendakian di belukar hutan jiwamu Sesat. Tersesat Sendat. Kakiku berkarat dan kubiarkan mengarat Tak ada yang kumiliki bahkan untuk mengenali hari apa ini yang mengirimkan cermin kekalahanku berkali-kali Ya, kekalahanku seperti kauingatkan berhari-hari setelah pertemuan lalu Maka kau tak perlu lagi membekaskan apapun tentang aku seperti aku tak akan perlu lagi menilaskan apapun tentang kamu Tak perlu candi atau prasasti Tak perlu puisi perpisahan atau ucapan melankoli Kita cukup saling berjanji untuk tidak menengok punggung atau sebatas merenung mengapa punggung kita saling menjauhi Kita cukup saling mengerti bahwa tak ada yang harus ditangisi dari kekalahan yang mesti kumaklumi ini Kumohon kau bantu aku mengerti Cilegon, 06 September 2020

Sabung Nasib

Begitu burung bekisar berkicau, kaki kita seketika kacau Dapur sudah seperti medan tempur dan pelataran menjelma palagan berlumpur Simpang jalan. Ruas-ruas yang menjemukan Semua angkat senjata melawan episode kehidupan Semua dari kita memasang pagar berduri atau kawat besi atau terali baja yang kita curi dari ketakutan sendiri Agar tak ada kekalahan yang kita cumbui lagi Maka begitu burung bekisar itu meracau, tangan kita serentak merisau Gelas dan cangkir sudah terpinggir dan puisi sudah kembali tersingkir Barangkali nanti malam nasib mereka mampir Entah sebagai repihan kesal atau bantal pelipur sesal Cilegon, 06 September 2020

Kontak Jodoh

Sudut yang sering tak kuperhatikan. Entah mengapa mataku kali ini begitu tak ada kerjaan. Kontak Jodoh , begitu dituliskan dan memajang sebuah iklan membangunkan kantukku pada kehidupan: Sedang mencari pria atau wanita. Usia berapa saja, asal masih bernyawa. Badan sehat, otot kuat, tapi tak bertulang baja (Khawatir kiriman dari 'sebelah'). Bisa mengetik dengan sebelas jari dan membaca dengan mata hati. Mahir berdebat dengan siapa saja dan tema apa saja, kecuali agama (Khawatir diprotes sama 'sebelah'). Penampilan menarik, syukur-syukur membuat gidik. Tidak melodrama, tidak melankolia, dan tidak gemar mengumbar air mata . Menaruh hati dengan iklan ini? Sampaikan riwayat hidup melalui redaksi. Demikian kata rubrik itu menunjuk alamat proposal perjodohan: Jalan Tuli Nomor Satu Kecamatan Bisu, Kabupaten Dungu. Untuk Penerima: Jodoh mu, Jika Mau. Cilegon, 06 September 2020

Pertemuan

Mata basah Bibir kelu Pipi memerah Hidung melenguh Suara lonceng kapal pamit pulang Jangkar sudah meninggalkan sampang Akhirnya kau datang ! Maka, mata basah dan bibirmu kelu Pipiku memerah dan hidungmu mengeluh: Kenapa baru sekarang kita kembali bertemu? Suara lonceng kapal pamit pulang Meninggalkan kita yang berpeluk kencang Cilegon, 30 Agustus 2020

Pada Semusim Tunggu

Aku melamunkan lagi bayangan punggungmu yang terlanjur pergi Ratusan detik kupungut dari selasar hari Kutimbun menjadi jerami Kudiangkan dengan api yang nyala dalam penantian kini Aku mengenang kembali malam sebelum sentuhan kita berhenti Pada selembar padang rindu kau relakan wajahmu basah oleh hasratku Pada sehampar sabana kasih kau ikhlaskan tubuhmu membenih oleh renjanaku Pada sejembar stepa asmara kau relakan jiwamu semi oleh janjiku: kutunggu kamu kembali Lantas pagi memanggil seperti rengek si budak dekil Matamu yang sendu beku di mataku yang sayu Lantas siang meradang seperti tuan perdikan paling garang Mata mu yang sedu leleh di mataku yang penuh Kapal membawamu ke ufuk-ufuk bisu Layar menyeretmu ke teluk-teluk kelabu Kamu Bilakah mengakhiri penantianku: puisiku ? Cilegon, 30 Agustus 2020

Potret Sebuah Puisi

Tajukmu seringkali membujuk, merajuk, atau sesekali mematuk Batang tubuhmu rimbun Penuh dedaun dan reranting; burung-burung nangkring  menumpang bising Pada akhir sapa kadang kau sengau Pada mula kata seringkali kau igau Selalu saja kami yang kau paksa bergurau menerka hakikatmu yang serba kusau Pada akhirnya kami harus mengerti bahwa mengenali dirimu tak perlu pelajari tipografi atau topografi atau tetek-bengek teori Pada akhirnya kami sadari mengenali kamu cukup melihat dada kami sendiri yang seringkali susah dimengerti Cilegon, 30 Agustus 2020

Mustahil

Sungguh musibah bagiku mencari dan menemukan jejak cinta mu Sepanjang jalan yang kutemukan hanya debu dari kedustaanmu Sepanjang ngarai hingga pantai hanya deru samar dan bisu yang menyembunyikan palsumu Maka, sungguh mustahil bagiku untuk menghitung asmaramu dalam simpuhmu di ujung amarahku Sebab sungguh tak berminat bagiku mengulang kata dan darah di balik lantun pantun kecewa Di balik cerita kepergianmu