![]() |
Disksusi Busi Mati |
Boring. Males. Jengkel. Itu respon saya puluhan menit selama acara berlangsung sampai Sujiwo Tedjo menjadi pemecah garingnya acara dengan suara buto ijo-nya menghardik Bung Sutan Batoegana. Ketika sang master hukum dari Unair itu muncul, semangat saya sebagai anak Fakultas Hukum langsung kobar. Pengen denger suara dan komentar The Master of Sobural Theory itu. Dan ternyata? Hahahaha... 8 Jempol! :D
Dari sekian pendapat dan tanggapan pembicara yang unjuk gigi, saya rasa hanya Prof. Dr. J.E.Sahetapy, S.H., M.A. lah pendapatnya yang paling waras di antara para peserta diskusi. Beberapa lain yang kewarasannya di level Baik adalah Bung Fadjroel dari kacamata politik dan Sujiwo Tedjo dengan kajian filosofinya. Meskipun sedikit kaget dengan kehadiran dalang "sableng" di acara tersebut, saya langsung sadar: "Sableng" jauh lebih baik daripada nyableng! Salute to Mas Tedjo!
Sekian puluh kali saya melewatkan acara ini, meskipun sudah berganti nama, kesan brutal dan tak beraturan masih saja tampak dalam setiap diskusi. Ternyata bukan saya saja yang berpendapat seperti ini. Roni Toxid, seorang Kompasianer juga menyatakan serupa dalam tulisannya di Kompasiana dengan judul "Selamatkan Anak Anda dari Diskusi Destruktif di TV."
Saya, Mas Roni (yang notabene saya tak kenal dia), dan entah berapa ratus, ribu, atau juta, dan barangkali puluhan juta pemirsa di negeri ini mengalami kegundahan yang sama dengan apa yang saya dan Mas Roni saksikan. Bagaimana tidak? Sekumpulan orang-orang "pintar" kumpul di sebuah wadah yang pintar, diharapkan mampu menerjemahkan suatu persoalan yang liar menjadi suatu titik temu solusi yang pijar, ternyata? Debat kusir persis obrolan tukang becak di muka pasar Dinoyo siang hari setiap saya lewat pas pulang dari kampus.
-. Ensiklopedia Biografi Tokoh Indonesia - J.E. Sahetapy: Penjaga Nurani Hukum dan Politik
-. Roni Toxid - Selamatkan Anak Anda dari Diskusi Destruktif di TV, Kompasiana Sekian puluh kali saya melewatkan acara ini, meskipun sudah berganti nama, kesan brutal dan tak beraturan masih saja tampak dalam setiap diskusi. Ternyata bukan saya saja yang berpendapat seperti ini. Roni Toxid, seorang Kompasianer juga menyatakan serupa dalam tulisannya di Kompasiana dengan judul "Selamatkan Anak Anda dari Diskusi Destruktif di TV."
![]() |
Stop Ngeyel! |
Saya, Mas Roni (yang notabene saya tak kenal dia), dan entah berapa ratus, ribu, atau juta, dan barangkali puluhan juta pemirsa di negeri ini mengalami kegundahan yang sama dengan apa yang saya dan Mas Roni saksikan. Bagaimana tidak? Sekumpulan orang-orang "pintar" kumpul di sebuah wadah yang pintar, diharapkan mampu menerjemahkan suatu persoalan yang liar menjadi suatu titik temu solusi yang pijar, ternyata? Debat kusir persis obrolan tukang becak di muka pasar Dinoyo siang hari setiap saya lewat pas pulang dari kampus.
Sebenarnya, saya agak kurang setuju dengan tulisan Bung Roni di bagian "kalo anda uda punya anak dan anak anda uda ngeh dengan logika, jangan kasih tonton acara ini, atau yang semacamnya." Kenapa? Hemat saya, justru kita harus menunjukkan kepada anak-anak kita dua biji realita nyata. Pertama, jas dan dasi bukan tanda kematangan pribadi seseorang. Jas dan dasi, zaman ini, hanya menjadi kedok menutupi kapasitas otak yang dangkal dan kerendahan moral seseorang. Jas dan dasi, jabatan yang tinggi ternyata toh tidak serta merta mengangkat pemiliknya menjadi sosok yang cerdas dan mampu membawa diri. Mereka menjadi pribadi yang hanyut, hanyut, hanyut. Dan larut.
Kedua. Manfaat yang akan diperoleh anak Anda jika sudah paham logika dan menyaksikan acara semacam itu adalah rasa syukur. Bersyukur masih diberikan dan dijaga nalar mereka yang sehat oleh Tuhan ketimbang saudara-saudara kita yang sedang berkotek ria di sana.
Eh. Tunggu dulu! Ternyata selain Mas Roni Toxid, ada lagi Syahid Arsjad, Kompasianer yang menulis "Politikus, Bicara Seperti Ayam Kehilangan Kepala..." Sosok Kompasianer ini (yang lagi-lagi saya tidak kenal) senasib dengan saya: eneg dengan ajang diskusi semacam Indonesia Lawyers Club. Bung Syahid sehaluan dengan saya dalam hal kekagumannya pada komentar Bapak Sahetapy. Tenang. Lugas. Cerdas. Itu kesan saya pribadi pada pria yang bulan Juni tahun ini genap menginjak usia 80 tahun. Semoga Tuhan memberikan rahmat pada beliau.
Fajar Terakhir(kah?) |
Saya dan Mas Syahid, dan ribuan manusia di luar sana lainnya, adalah debu-debu yang merindukan sosok penuh integritas seperti Bapak J.E. Sahetapy. Jelas memposisikan diri sebelum menyuarakan pendapatnya serta konsisten dengan setiap ucapan yang beliau layangkan ke telinga para pendengarnya. Saya tertawa melihat muka para pembual yang hadir begitu tokoh yang satu ini bicara. Kecut banget. Hahaha... Terutama regu peniup terompet Partai Demokrat ketika Guru Besar Unair ini menyerukan soal membela kawan dan muka. "Andai kata orang yang dibela terbukti bersalah, mau ditaruh dimana itu muka?" Saya ketawa. "Di cuci pakai Rinso pun nggak akan hilang, Pak..." sambung Prof. Sahetapy lugu kepada Karni Ilyas dan berhasil membuat saya terpingkal-pingkal ngakak (sekali lagi) :D.
Akhir Kisah Budaya Malu |
Konsep rasa malu yang Prof. Sahetapy gambarkan seperti mundurnya pejabat karena ada media massa yang mengabarkan keterlibatannya dalam suatu kasus menjadi flash back bagi saya ketika mempelajari Teori Kriminologi Suatu Pengantar karangan beliau kaitannya dengan konsep Sobural. Teori Kriminologi. Nilai-nilai SOsial. Aspek BUdaya. Faktor StruktuRAL. Demikian kepanjangan dari kata 'sobural' tersebut. Aspek budaya lah yang beliau angkat sebagai ilustrasi dalam komentar beliau. Dan mau tak mau kita harus mau mengakui: pejabat kita nggak lagi punya rasa malu. Begitu bukan?
Saya sempat ngeri sewaktu Sutan Batoegana "menunjuk hidung" Prof. Sahetapy sebagai "kontributor" kebusukan akhlak generasi pemimpin saat ini. Dengan tegas sang professor mengakui dirinya memang sebagai dosen dari para pemimpin hari ini, namun dengan tegas pula dia menolak bahwa dia menanamkan moral yang cacat kepada anak-anak didiknya. "Saya tidak pernah mengajari mereka untuk tidak jujur," begitu kurang lebih tanggapan beliau. Dan dengan jantannya beliau menyergah ocehan Sutan Batoegana dengan sebuah idiom dalam bahasa Belanda. Karena Sutan Batoegana tidak menjawab pertanyaan beliau tentang terjemahan idiom tersebut, kontan beliau pun mencecar bertubian, "Anda tahu artinya? Anda tidak tahu kan? Artinya, Anda bicara seperti ayam kehilangan kepala," disusul tawa para peserta. Termasuk saya. Begitulah keironisan yang ada di acara diskusi gagasan TVOne tersebut.
Kacau...! |
Diskusi Indonesia Lawyers Club edisi kemarin semakin membuka mata saya bahwa negeri ini benar-benar sakit. Keruwetan menjadi semakin ruwet karena orang-orang yang dipilih untuk mengatasi keruwetan malah menciptakan keruwetan baru lagi. Masalah yang ada dijejali dengan masalah yang baru. Dimana kedamaian? Dimana kemakmuran? Kita tersandera oleh permainan elit politik.
Ada satu hal yang saya (hampir) lupakan yaitu
kritik terhadap Prof. Sahetapy. Pada suatu kesempatan tertentu, tak
jarang kita mendengar suatu diksi yang kurang pas terlontar dari ucapan
beliau. Misal, kata 'bajingan' sewaktu mengusulkan fit & proper test bagi staf KPK. Menurut saya, di sinilah 'sedikit'
kekurangan beliau. Andai kata hal semacam ini tidak terjadi, insya
Allah beliau merupakan satu-satunya orang yang cerdas di forum tersebut.
But, there's nobody perfect. And we must always still tryin' to be perfect. Ini yang harus kita pelajari dari forum semalam.
Hm... Finally, ketika orang-orang yang kita percaya tidak bisa memperbaiki harapan kita dan ajang diskusi yang diharapkan cerdas ternyata mandul, ada baiknya kita habiskan waktu dengan membuka blog pribadi kita, menyiapkan lembar posting, memikirkan gagasan yang jauh dari keruwetan dan tuangkan saja apa yang ada di benak kita.
Hm... Finally, ketika orang-orang yang kita percaya tidak bisa memperbaiki harapan kita dan ajang diskusi yang diharapkan cerdas ternyata mandul, ada baiknya kita habiskan waktu dengan membuka blog pribadi kita, menyiapkan lembar posting, memikirkan gagasan yang jauh dari keruwetan dan tuangkan saja apa yang ada di benak kita.
Atau...
Kita bisa menghabiskan waktu bersama ayah dan ibu kita. Atau pacar. Atau istri. Atau anak dan istri. Sembari menikmati segelas teh hangat di teras rumah sambil bercerita tentang Indonesia 10 tahun yang akan datang. Dimana sosok gennerasi muda cerminan J.E. Sahetapy tampil di muka dunia peradilan kita. Dunia politik kita, pemerintahan kita. Membawa seribu pembaharuan yang jauh lebih menyegarkan. Dan lebih transparan. Bukan sekedar antek periuh diskusi buntu. Semoga saja bukan sekilas impian.
-. Ensiklopedia Biografi Tokoh Indonesia - J.E. Sahetapy: Penjaga Nurani Hukum dan Politik
-. Syahid Arsjad - Politikus, Bicara Seperti Ayam Kehilangan Kepala..., Kompasiana
Sumber Gambar:
-. KasKus - Bang Karni - Video Polisi di Bali dibahas Indonesia Lawyer Club-. Sastra Education - Macam-Macam Diskus
-. Reformed Center for Religion and Society
-. Amanah Rakyat
-. Pustaka Langit Biru
-. Kompasiana - Edy Priyatna - Pemerintah Tidak Mau Mendengar Aspirasi Anak Indonesia
Update (25 Mei 2013 Jam 17.53 WIB)
Beberapa hal mengurangi nilai estetika dari artikel ini. Font size yang kecil, spacing yang tidak rata, dan beberapa lainnya berupa kerusakan gambar menjadi alasan saya meng-update hari ini. Kekurangan tersebut sudah saya perbaiki. Semoga berkenan. ^^
Salam kenal
BalasHapusterima kasih telah berkujung ke laman saya di kompasiana
wassalam
Syahid
Walaikumsalam wr.wb.
HapusSalam kenal balik, Mas.
Insya Allah segera meluncur. :D