Langsung ke konten utama

Sayap Hitam Sang Senja

Pekat Gemurat
Ada gemuruh warna
Menyorak dari dalam gulana
Ada sebingkis suara
Hinggap dari gurun yang hampa

Pepohonan tumbuh
Rumput kering. Tumbuh
Janggut pak tua yang masai
Bertarian kini di lembah damai
Kaki tak lagi beku
Begitu girang langkahmu
Pagi yang semula pekat bagai ajal
Sekarang terang menusuk bebukitan terjal
Bisa kau rasakan angin surga
   yang turun menyusup di mata
Bisa kau rasakan percikan telaga
   yang sejuk singgahi jiwa
Ketika kau jatuh dan luka
Takkan pernah lagi ada air mata
Karena ia hanya sementara
Saja...
***
Musim
Kau kenali dia?
Yang selalu datang dengan godam berlumur darah
Dan sesekali saja dengan benih yang siap ditanami?
Apa kau mengenali?
Apakah kau mengingatnya?

Kini. Aku heran menatapnya kini
Kemana huma yang jejal oleh umbi?
Kemana sawah yang sesak oleh padi?
Kemana ikan-ikan?
Kemana pepohonan?
Atau...
Dimana...?

Ketika anakku, dengan kakinya yang rapuh,
   datang di ujung jalan
Ia bertanya:
"Apa ini, Ayah?"
Aku terdiam. Mataku merah
Mataku basah
Istriku menggugu mengenang gubuk hijau tempat kami bercinta
"Apa ini, Ayah?"
Tanya anakku lagi
Tetap saja aku kehilangannya
Aku harus menjawab apa?
"Ayah...
... ini semua... apa?"
Aku menunduk dan...
Renta

Bulan purnama
Legenda tanah pusaka
Kurasa...
Di sinilah pusara kampung Atlantis kita...
***
Hoi, Musim...
Hoi, Jisim...
Kutukan ini teramat lalim
Berapa lama kami menanggung dusta?
Berapa lama kami menyimpan trauma darah?
Berapa lama desa kami ditindas galau,
   risau, parau meng-kusta?
Ini semua bukan salah kami
Anak-anak sundal di tepian sana yang mengundang badai
Mengapa kami yang terburai?

Sayap hitam
Menelikung di ambang senja
Kita tak bisa berbuat apa-apa
Kita tak mampu bicara
Kita tak mampu berjalan
Kita terperangkap di semu harap
Kita terjerembab...

Kini
Tak ada guna kau pelototi:
   televisi, warta kota harian pagi,
   kusut masai diskusi,
   atau bincang konsolidasi dan negosiasi
Apa yang kau simak di ruang sidang sana
Tak akan pernah mengubah jalan cerita:
Nusantara versus Bahala
Kalah 0-3
***
Ini bukan drama
Apalagi sinetron busuk layar kaca
Andai kata kau lelap dan pulas
Ketika nanti kau buka mata
Ku do'akan kau tak peranjat dan lemas
Negerimu sudah dilego
Oleh kepinding dan coro kroco
Antek kampret...

Sumber Gambar: Ore No Genjutsu, dengan perubahan seperlunya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The End of The Holiday ^.^

Menyambut Esok Yup. Saya pikir inilah saat terakhir saya ngabisin hari libur. Masa reses. Masa menenangkan diri dan menjauhkan diri dari aktivitas perkuliahan dan tugas-tugas yang naujubillah banyak banget. Ini hari terakhir, meskipun masih kesisa sehari besok, buat memikirkan rencana masa depan. Kenapa hari terakhir? Ya karena mulai Senin besok lusa nggak ada lagi rencana. It's time to action! Setuju? ^.^ Senin, jam 7 pagi, sejarah semester 4 studi saya dimulai. Dosen baru, suasana baru. Target-target baru. Saya yakin, sepanjang hati kita yakin, kita bisa melakukan apa aja. Kebaikan apa aja. Kesuksesan apapun meski terlihat rumit dan mustahil. Dan hal ini yang akan saya lakukan: Agraria harus dapat nilai A!!!! Itu tekad saya buat si dosen killer yang bakal jadi dosen di kelas yang saya ambil semester ini. Semoga ini bukan keputusan goblok saya. Tuhan, Ya Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, berikan petunjuk dan kemudahan bagi hamba. Aamiin... So, bagaimana denga

Aku Tertawa

Bayi pun Turut Menertawakanmu Aku tertawa Melihatmu Berebut gundu dengan bibir berlumas gincu Tapi, Aku lebih tertawa lagi Melihatmu sendiri Tergugu dan nyeri Ketika biji gundu itu melesat ke dahi ..... Bekas dan jelas Sumber Gambar : Google

Wahai... (Akhir Mimpi)

Nestapa Bunga-bunga layu Daun-daun Runtuh dalam pelukan kelabu Wahai , Sepi Mengapa musim begitu keji? Sepasang mata Tegak menyongsong derita Jemari mungil penuh luka Memeluk tangkai si kuncup dahlia Yang mulai kering dan punah Wahai, Dingin Seberapa panjang membaluti serbuan angin? Lembah itu Semakin kusam dan berdebu Matahari bisa mengingatnya Di atas batu Ya! Di atas batu itu Semusim lalu Seekor jantan asyik mencumbui betinanya Ya! Di atas batu itu Sang betina pasrah menerima kekasihnya Dan langit Dan bumi Dan semesta raya Ikhlas menerima mereka Mengalirlah gairah dalam cinta Semusim yang lalu... Wahai, Waktu Mengapa dengki nian kau berlaku? Halilintar Suatu hari datang dan mengantar Sepucuk kabar Bahwa cinta harus merepih dan buyar Merepihlah mimpi-mimpi Memuinglah rimbun kasih Air mata . Apakah guna? Cucur darah. Bisakah mengubah? Dan mereka berpisah di antara linang tangisan senja Merantau dalam galau Merundung dalam kabung San