Langsung ke konten utama

TIPS 01 - Puisi: Hm... Gimana Bikinnya?

Jujur sih. Kalo diliat-liat fenomena puisi di kalangan remaja saat ini lumayan bagus. Puisi nggak lagi cuma dipake di kelas-kelas pas lagi pelajaran Bahasa Indonesia. Parahnya lagi, siswa ngikutinnya sambil ketiduran. So, udah pasti nguap deh itu ilmu :)
Puisi, diliat dari sudut manapun sebenarnya fleksi banget. Artinya, puisi nggak melulu harus berkiblat pada gaya penyair dan penulis syair terkenal macem WS. Rendra (Alm.), Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, atau penyair abad jadul seperti Chairil Anwar (Alm.). Puisi nggak harus berbait-bait, berima tetek bengek pake model AAAA, ABAB, AAA--sampek Stasiun Jatinegara, atau sajak A-Z. Puisi, menurut saya sih, cukup memenuhi 3 unsur utama: PESAN, KESAN, dan KEINDAHAN.

Menulis? Kenapa Tidak?
Pesan. Kebayang nggak kita ngomong berbusa tapi nggak ada maknanya? Gitulah puisi. Sepanjang apapun kalo puisi kita 'hambar', berkutat pada persoalan di pikiran kita saja (baca: curhat gila-gilaan), pasti orang kabur baca puisi kita. Contoh aja. Orang lagi patah hati. Puisi yang pas sebenarnya cukup satu baris. Misal: Aku begitu lelah mencintai karena kau tak pernah lelah mengkhianati. Beres. Lha, ini nggak. Kadang saking emosionalnya bikin puisi sampe 3 halaman folio bergaris (pengalaman saya sendiri pas SMP. Hahahaha... Jadi malu!). Jelas aja pada ngabur. Yang terpenting puisi mampu memberikan 'intisari' tertentu yang bikin pembaca mampu bersimpati, berempati, atau larut dalam tulisan kita. Paling nggak, ya pembaca paham maksud tulisan kita sudah cukup.


Kesan. Karena HARUS meninggalkan PESAN, maka diperlukan KESAN. Kesan bisa diartikan sebagai 'bekas'. Puisi yang kita buat harus bisa meninggalkan 'bekas' itu di hati pembaca. Masalah nongol: caranya gimana woy? Lha. Ini yang agak susah.

Setiap penulis punya gaya tulisan yang berbeda. Kalo saya sih 'bekas' yang saya jadikan alat supaya Pesan bisa sampe ya lewat diksi dan rima. Saya olah diksi saya supaya agak elit dan memancing orang berpikir dengan puisi saya. Dari berpikir orang menjadi bertafsir, dan dari tafsir itu muncullah pesan-pesan tertentu. Apa hanya itu? Oh, tidak.

Kalian bisa coba dengan gaya humor. Mulai yang santun, ngeres, sampe yang vulgar. Saran saya, puisi harus murni: jangan diselipi pornografi, pornoaksi, dan radikal-radikal bebas lainnya. Memang sih itu hak, tapi sangat disayangkan kalo sastra dijadikan alat pengumbar nafsu. Apa nggak mudarat?

Sekedar contoh membuat kesan.

Aku adalah kamu. Kamu adalah aku. Aku takkan melukai aku. Karena aku adalah kamu. Apakah kau tega melukai aku?

Asyik kan? Penulis dalam puisi itu (saya ^_^) mencoba menggambarkan pasangan kekasih untuk tidak saling menyakiti karena keduanya adalah satu: insan yang saling mengasihi. Gampang kan?

Terakhir. Keindahan.

Aspek estetika bisa diliat dari banyak macem: tipografi alias bentuk susunan baris dan bait puisi, rima dan sajak, diksi, penggalan kata, seting dan nuansa, dan hal-hal lain. Penulis nggak bisa ngasih banyak contoh untuk yang satu ini karena ukuran keindahan itu amat-sangat-banget-luas sekali. Percaya kan? Tapi, buat saya sih indah itu diliat dari diksi dan sajak yang dipake. Sekedar tips, untuk mengukur puisi kita indah atau nggak ada dua cara:

Pertama: Studi Kontemplasi

Keren kan? Istilah gampangnya ngelamun. Hehehe... Tapi bukan ngelamun kosong atau mikir yang jorok-jorok. Dalam lamunan itu, pikirin setiap kata-kata yang kita buat. Sudah indah kah? Lalu sajaknya, rima, bait dan baris? Sudah ajib kah? Pakai unsur seni yang kita miliki buat ngukur menurut subyektifitas kita pribadi apakah karya kita sudah indah apa belum.

Kedua: Studi Komparasi

Bahasa kampungnya (Hehehe... n_n) nyontek dan nanya. Nyontek bukan plagiat tapi MEMBANDINGKAN puisi yang kita buat dengan puisi orang lain (yang mungkin jadi kiblat kita). Cocokin aja penggunaan diksinya gimana? Udah cool apa masih ambrul. Hehehe... Susunan bait dan baris apa sudah menarik ato nggak. Atau kalo nggak pengen pusing tanyain aja ke orang lain: ortu, guru, temen, sahabat, pacar, atau orang-orang nggak jelas di dunia maya. Soal respon negatif nggak usah diambil hati. Biasa aja. Namanya pemula. Daripada nggak nyoba?

So, the point is kita nggak perlu kaku menulis puisi. Nggak perlu... high opinion soal puisi. Nggak usah nganggep puisi harus bersajak dan pakem-pakem lainnya. Kecuali kalo di kelas lho! Nggak ikut pakem saya jamin dapet 20. Hahahahaha... Lanjut. Intinya, bebasin diri kalian menyusun puisi itu kayak apa pol menurut kalian. Dengan gitu, puisi nggak stagnan itu-itu aja tapi berkembang dengan model dan gaya yang beraneka ragam

Segini dulu ya tips kali ini. Tunggu ulasan berikutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The End of The Holiday ^.^

Menyambut Esok Yup. Saya pikir inilah saat terakhir saya ngabisin hari libur. Masa reses. Masa menenangkan diri dan menjauhkan diri dari aktivitas perkuliahan dan tugas-tugas yang naujubillah banyak banget. Ini hari terakhir, meskipun masih kesisa sehari besok, buat memikirkan rencana masa depan. Kenapa hari terakhir? Ya karena mulai Senin besok lusa nggak ada lagi rencana. It's time to action! Setuju? ^.^ Senin, jam 7 pagi, sejarah semester 4 studi saya dimulai. Dosen baru, suasana baru. Target-target baru. Saya yakin, sepanjang hati kita yakin, kita bisa melakukan apa aja. Kebaikan apa aja. Kesuksesan apapun meski terlihat rumit dan mustahil. Dan hal ini yang akan saya lakukan: Agraria harus dapat nilai A!!!! Itu tekad saya buat si dosen killer yang bakal jadi dosen di kelas yang saya ambil semester ini. Semoga ini bukan keputusan goblok saya. Tuhan, Ya Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, berikan petunjuk dan kemudahan bagi hamba. Aamiin... So, bagaimana denga

Aku Tertawa

Bayi pun Turut Menertawakanmu Aku tertawa Melihatmu Berebut gundu dengan bibir berlumas gincu Tapi, Aku lebih tertawa lagi Melihatmu sendiri Tergugu dan nyeri Ketika biji gundu itu melesat ke dahi ..... Bekas dan jelas Sumber Gambar : Google

Sajak Pendek

Entah Ku tembangkan di tepi senja Ketika jingga menyala Dan jarak memisahkan kita Semoga kita berjumpa                    Lagi... Sumber Gambar: eRepublik - The New World