Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2011

TIPS 01 - Puisi: Hm... Gimana Bikinnya?

Jujur sih. Kalo diliat-liat fenomena puisi di kalangan remaja saat ini lumayan bagus. Puisi nggak lagi cuma dipake di kelas-kelas pas lagi pelajaran Bahasa Indonesia. Parahnya lagi, siswa ngikutinnya sambil ketiduran. So , udah pasti nguap deh itu ilmu :) Puisi, diliat dari sudut manapun sebenarnya fleksi banget. Artinya, puisi nggak melulu harus berkiblat pada gaya penyair dan penulis syair terkenal macem WS. Rendra (Alm.), Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, atau penyair abad jadul seperti Chairil Anwar (Alm.). Puisi nggak harus berbait-bait, berima tetek bengek pake model AAAA, ABAB, AAA--sampek Stasiun Jatinegara, atau sajak A-Z. Puisi, menurut saya sih, cukup memenuhi 3 unsur utama: PESAN , KESAN , dan KEINDAHAN . Menulis? Kenapa Tidak? Pesan . Kebayang nggak kita ngomong berbusa tapi nggak ada maknanya? Gitulah puisi. Sepanjang apapun kalo puisi kita 'hambar', berkutat pada persoalan di pikiran kita saja (baca: curhat gila-gilaan), pasti orang kabur baca ...

01/12

Bersiap Melepaskan Diri Menunggu itu menyakitkan Aku diam mengingatnya Lalu. Mengangguk lemah... Menunggu, sebenarnya, tidaklah menyakitkan Tapi: SANGAT meletihkan Dipacu detik menjadi menit Didera jam menunggu hari Kita dipaksa berhitung Seperti bocah PAUD di ujung kampung Kita dipaksa mengkalkulasi Berapa banyak detik; berapa banyak menit. Berapa banyak jam yang terlewati Kita dipaksa melakukannya Sehingga. Kita lupa Peristiwa besar siap menggelegar *** Bayangan darah dan teriakan wabah Dua-duanya menyatu menjadi phobia Berita mengguncang mayapada. Antara fakta dan guyonan si orang gila Senjata-senjata telah dikokang Tentara turun ke garis muka Api jiwa mulai resah. Mulai gelisah... Carli dan entah siapa lagi. Freeport dan birokrat bibir codot. Haruskah terakumulasi? Jadi bara dan meledak bersama-sama? Haruskah sang Kejora memisahkan kita sebagai saudara? Haruskah lelah membakar asa juang '45? Haruskah kita buang jauh keringat Bung Yos Sudar...

Tanpa Kata: Berjalanlah!

Tanpa kata: Berjalanlah! Hari esok membuka mata Tangannya merangkul, mencoba memeluk kita Maka, Berjalanlah! Mungkin. Sejuta cibir datang bagai banjir Mungkin. Segudang dengki menusuk bagai belati Tapi. Lebih mungkin lagi. Surga mengguyur bagai hujan bulan Januari Tapi Lebih mungkin lagi. Damai menitis, membenih kasih Maka. Berjalanlah! Kau mungkin trauma Dengan perosok-perosok masa lalu Dan jejak-jejak noda yang tersisa Lalu. Apakah kau kan diam Dan menunggu noda baru membenam? Maka: Berjalanlah! Sepi di puncak. Sepi di hati Sepi mimpi jauh lebih ngeri Daripada sepi lorong sunyi yang paling sepi Maka. Sekali lagi aku berkata Tanpa kata: Berjalanlah, Bung! (Kepada Pemuda dan Kebimbangannya)

Kejora di Tanah Rinding

Simbol Harapan Ada apa di sana? Kabar angin menerpa dari pohonan Wajah-wajah pun kusut dalam harap Kau. Aku. Berbisik dalam gelap: " Waktu semakin senyap " Dan. Benar. Senyap. Dan semakin senyap Sepi pagi menghampiri Ya. Memuncak, menjelma menjadi Matahari Bukan sinar yang membasahi tubuh kita Tapi: API! Kecurigaan yang abadi *** Keruh. Semakin banyak orang memancing dalam keruh Kau hanya berkata: " Tetaplah teduh! " Sementara, Hari-hari semakin lesuh   Hari-hari semakin tak acuh   Hari-hari semakin jenuh ... Lalu. Lihatlah di Puncak Jaya Kejora itu begitu indah Lahir dari hati yang hampir punah Yang: bermimpi Kuncup Surga mekar di Ladang Nirwana Dan, kau. Aku. Kita tahu betapa lelah: Bergantung kepada cuaca Dan Tanah Rinding di sana Semakin terbanting dan berkeping Diombang-ambing Dikelakari politik compang-camping Dan. Kau. Aku Marilah kita menunggu. Sang waktu: Menyihir Kejora berubah menjadi Atom Hiroshima Meledakkan bend...

Orang Tua. Anak Muda. Dan Manusia Sisa-Sisa

Suram Tanpa Cahya Kita terperangkap di bawah sepatu penjajah: Tak! Dia bukan Belanda Tak! Dia bukan pula Negeri Sakura Bah! Apa pula? Amerika? Bukan lah! Mereka begitu dekat dengan kita: Menguasai masjid dan mushalla, Lalu turun ke kampung-kampung dan desa-desa, Masuk ke kantor, instansi kotor, Dan merayap di kampus-kampus Kita tak punya celah: dan selalu saja begitu! Kita dipandang sebelah mata Mentang-mentang predikat remaja kontan saja dibilang tak tahu apa Kita diukur dari banyaknya hari kita menghirup udara Kita diukur dari lamanya kita membuka mata hingga berdiri saat ini Pengalaman. Selalu itu jadi senjata mematikan Negara berkata: Dicari pemimpin usia 50an Kita lalu berpikir: Lha, yang muda tak adakah? Negara berkata: Pengalaman itu berharga Kita lantas bertanya: Kemana mencari jika tak ada celah? Diskusi dan seminar Podium dan meja-meja kekuasaan Berapa banyak anak muda di sana? Berapa banyak pembaharu di sana? Berapa banyak sang penggerak di...

Meniti Kembali

Sendiri di Keheningan Aku ingin: Meniti kembali jembatan waktu Menikmati silam Dan menghapus coret hitam di sudut kenangan Aku ingin: Meniti kembali bukit harapan Menyemai impian Dan menutup jurang perisai luka Aku ingin: Meniti kembali jejak langkahku Berjalan mundur. Teratur Menghitung berapa banyak kekeliruan begitu saja terkubur Tak terkontemplasi! Dan. Aku ingin: Meniti kembali penciptaanku Menemui Tuhan dalam do'a Dan bertanya: "Tuhan, Sudahkah aku di JalanMu?"

Pandora Bencana Nusantara

Kotak Bencana Kau dengar? Gemerincing petaka memusing di udara Kau dengar? Ada sehembus awan lapar Kau dengar? Ada rintihan menggelepar Adakah kau dengar? Jembatan yang menimpa kepalamu hari Minggu itu Kau pikir bencana? Itulah salahmu Andai. Ya. Andai kau peka: Bencana sebelumnya sudah mewabah Andai. Ya. Seandainya kau terjaga: Derita panjang sejak kemarin meradang Mungkin. Ya, mungkin. Tak perlu jembatan batu itu runtuh Oh, Tuhan. Ya. Mungkin Tuhan Mungkin Dia sedikit muak Ketika makhlukNya lapar dan merangkak Kau dengan perut tambun melahap bakul nasi sambil bergelak Ketika makhlukNya terbata mencoba membaca Kau dengan kacamata malah mengubah plot cerita Mungkin. Ya. Barangkali Tuhan sedikit jengah Berkali-kali Ia teriak Tetap saja telinga kita congkak Beratus kali Ia menghela Kita justru tertawa dan menuding langit seraya berkata: "Kami perkasa" Maka. Jembatan pun merekah. Tiang pancang musnah Temali luntur menari: menyambut Sang Mat...

Muka Parut dan Nyanyian Butut

Di mata kalian: ia begitu tampan Tapi. Kenapa tidak di mataku? Ia begitu gemilang di depan microphone Kata  menjadi nada. Dari sana bertransformasi menjadi album perdana Toko kaset memajangnya dengan segan Dan perusahaan rekaman pajang muka setengah badan Kenapa begitu terburu? Dan. Mengapa pengamen bersuara merdu di luar jendela itu kalian tinggalkan, hah? Aku, sungguh, tak bermaksud mengebiri bakat siapapun Tapi. Ibarat ranting penyangga daun Kenapa harus menjadi cagak? Bukankah ada sang dahan? Sungguh, ya. Aku bersungguh-sungguh Aku tak bermaksud menghalangi cita-cita Atau bakat menurut bahasamu Tapi. Untuk apa memetik gitar dan bersenandung Sementara di balik punggung:            Seribu orang mati membusung. Lapar          Seribu orang lenyap tergulung. Terdesak mall dan waralaba cemar         Seribu orang buntung dan murung. Memikirkan j...

Jalanan Pun Bersaksi

Bahwa. Keringat itu basah Dan baunya menjadi wabah Namun. Ketika itu tubuhmu yang demikian Kenapa menjadi gairah? Jalanan pun bersaksi Bahwa. Pengabdian itu luka Terjerat sangka dan durjana Namun. Ketika itu kau yang terjun ke dalamnya Kenapa ulasan senyum yang ku temukan? Jalanan pun bersaksi Bahwa. Roda tak selamanya berputar Ada kalanya ia bertahan di atas; sering pula terpahat di bawah Namun. Kenapa kau justru tertawa: saat kau terjerebab di sana? Dan. Jalanan pun bersaksi Putaran laju becak membawamu pergi Mengisi malam yang sunyi. Menebar impian Menilasi jejak rezeki 'tuk anak terkasih Wahai. Begitu juang dirimu, Kawan! Terinspirasi dari Sugeng, guru honorer yang mengisi waktu luang sebagai penarik becak Sumber Foto: JPNN.Com Berita Terkait: Gaji Guru Tak Cukup, Sugeng Merangkap Jadi Tukang Becak

Jejak Sang Manyar

Melayang di ambang. Sepi. Tanpa suara bernyanyi Aku menerka: kemanakah dia pergi? Dan. Ia tak menjawab selain siulan yang tak ku mengerti Ia tak menjawab selain meneruskan kepakan sayapnya: menuju titik yang mistis Aku memandang dalam gerimis Sang manyar merambati celah waktu Mengintipi: satu demi satu Manusia yang katanya hampir binasa oleh mulutnya sendiri Ia singgah di cabang dedahan Berkicau sebentar lalu terbang lagi dengan ranting kering di paruh Menuju kerimbunan kau teduh Aku menunggu. Ya. Aku masih menunggu Jejak sang manyar masih jelas tergambar Walau hujan runtuhkan jembatan batu di seberang desa Merdunya masih terasa. Meski telinga sesak oleh retorika Aku sudah berjanji: menunggu ia kembali Tak peduli berapa windu ku menanti Dan sebasah apa hujan mengguyuri Sang manyar Ku tunggu dia dengan sabar Dengan tegar ... Sumber Foto: Dunia Kicau

Bingkai Rinduku

Pada siapa aku bertanya? Banyakmu jauh di seberang Ribuan mil jarak membentang Wajahmu perlahan kabur dan surut Dimana harus ku tabur lagi benih rinduku? Kemana lagi harus ku ku jala kangenku? Wahai. Adakah kau mendengarku? Daratan yang asing. Di sana kata sang bayu kau berada Menyusun rencana hari depan Meniti skema-skema untuk membangun alam asa Aku diam. Bagaimana dengan gubuk cintaku? Bilakah kau membangunnya? Pada siapa aku bertanya? Pada siapa?

Puisi Malam Pertama

Tanpa cahaya. Tanpa lentera. Sunyi merangkak, menanjak. Sepasang manusia berpeluk berdua. Menghitung jarum waktu, menunggu reda gejolak di dada. Mata mereka bertatapan. Wajah mereka berhadapan. Hening di luar, sunyi di dalam. Kemelut malam menjadi suram. Jernih bernyanyi tanpa nada. Ketika rembulan bertahta di kulminasi, dan angin menjadi bisu tak lagi berlari, Sang Pangeran berkata pada Sang Putri: "Izinkan aku memilikimu, Kasih..." Lalu. Setetes air mata menganak sungai menjadi gairah. Tunailah satu darma anak manusia...

Bumi Menangis

Dan. Bumi pun kan menangis Luka dan sayat berjejalan dalam ritmis Angin gelisah lari tak tahu kemana Senyap. Dingin wajah alam menyergap Jejak duka makin panjang Ketika matahari meninggi dan mendung kabung di langitku menggantung Dan. Sepi makin menggila... ... Jika Kau Pergi Dariku ...

Memanah Matahari Pagi

Berjalan di padang sunyi Pagi ini. Ketika mendung sembunyi di balik hati Ringin derita mengurai dihembus angin Dingin memilin Jejak hampa berjalin dalam cermin Semesta sepi. Semesta iri. Semesta dengki Wahai, dimanakah percik api? Aku ingin: memanah sang matahari Membiarkan ia terluka Dan darahnya berceceran di atas Bumi Agar: bukan darah adik dan kakak kami yang berbanjiran Agar: bukan darah ayah-ibu kami bertumbalan Cukuplah kami berkorban selama ini Bersujud takluk pada tirani Dan bersumpah setia pada Iblis berwajah bengis Haruskah kami melakukannya lagi? Wahai, Yang Katanya Maha Segala Dengarlah keluhan kami! Sediakanlah tangan kami: kekar dan berapi Agar: bisa kami bakar siapa saja Yang menggantikanmu di dunia Menjadi raja dalam gulita Dengarlah kami! Dengar! Ya, dengar!

Peluit Kereta Demokrasi

Yap! Bersiap Nyaring peluit kereta demokrasi berbunyi Aba-aba keberangkatannya merangkak ke jagat buana Ramai-ramai: kau, dia, dan mereka menaikinya Tak peduli duduk di atas kursi. Atau berdiri di kaki sendiri Tak peduli berjejal di koridor. Atau di atap telentang dalam teror Berdesakan keberangkatan kali ini Tapi: Tak demikian seorang anak kecil Bertubuh dekil di pinggir peron Aku bertanya: "Kenapa kau tak mengikutinya?" Ia tersenyum lalu berkata, "Sebab kereta itu akan jatuh dalam jurang di tengah jalan." Aku terdiam Belum habis kesadaran sempurna Peluit kereta kembali menjerit Kereta melangkah. Setapak demi setapak. Sedepa demi sedepa Aku menunggu dan menunggu Nasib gerangan apa di ujung situ Dan. 13 menit berlalu Kabar pilu menyeruak, membunuh Kereta celaka Di kilometer 13. Tepat pukul 13 Kabar angin berkata mereka masuk jurang Yang gelap. Yang pengap Dingin merayap Kau tahu apakah itu? Orang bilang: KKN namanya. Inna lillahi wa i...

Mencari Damai

Merangkak di tepian gelap Merayap. Mendaki menghunus senyap Ku cari teduh dimana saja Di antara tumpukan sepi. Di lusinan dingin yang mencemari Tak ada kata bicara. Tak ada nada bersuara Semua diam. Semua kelam Semua temaram Seorang Tua Bijaksana berkata: "Jalan damai di depan sana Menanjak luka dan nyeri Dan tenggelam di pasir berduri" Aku bisu. Merenung. Lalu bertanya: "Sesusah itukah?" Sambil memandang ke langit lalu pada kedua tanganku yang berlumuran tinta usai menggubah sonata Aku menemukan damai darinya Berbekal kata-kata

Jangkar Sudah Dilempar

Dan perahu sudah turun ke pesisir. Tunggu apa lagi? Untuk apa kalian berdiri di buritan? Turunlah! Daratan menunggu kita dalam rentangan pelukan. Ah. Tak sabar aku mencicipinya. Jangkar sudah dilempar. Dan perbekalan sudah dibongkar. Tenda-tenda berdirian dan koloni sudah bersusun di siitus mereka masing-masing. Nyala api hangat ke hati. Mengirim asa: cahaya kan terbit di sini. Jangkar sudah dilempar. Okupasi dipetakan dan dipapar. Sementara itu, jauh di dalam hutan, sesosok bayi manusia pedalaman menangis menjerit. Hatinya sakit: firasat berderit. Ayah ibunya bercumbu di kamar. Tak sadar: kematian segera menyebar. Mengetuk. Dan menular... Terinspirasi dari Sejarah Kedatangan Bangsa Eropa dan Pemusnahan Suku Indian

Dari Sebuah Nama

 Ploceus philippinus Manyar Tempua Aneh memang dengan nama blog aku: JEJAK-JEJAK MANYAR. Kenapa 'Manyar'? Kenapa bukan Rajawali, Elang, atau mungkin nama hewan lainnya? Sebuah pemikiran yang agak panjang untuk nentuin nama sebuah blog. Awalnya, aku terispirasi dengan kata 'Mayang' yang memiliki arti sebuah perahu pukat. Aku bayangin sosok sebuah perahu pukat yang menjadi tumpuan harapan bagi nelayan dan keluarganya untuk mencari nafkah. Aku membayangkan kegagahannya menerjang badai dan ganasnya samudera. Tapi, di sisi lain, bukankah 'Mayang' identik dengan nama orang? Nah! Itulah kenapa aku nggak pake nama itu. Daripada multitafsir dan menyulut api kemarahan (note: cewek gue cemburuan. Dikiranya blog-ku special for someone nantinya. Bisa berabe -_~), saya putuskan dengan weight heart (baca: berat hati. Xixixixixi) untuk mencari nama lain. Bye-bye , Mayang... Hehehe (Ngalay!) Lalu, nama apa yang pantas? Setelah bersemedi selama 3 jam (semedi ...