Langsung ke konten utama

Postingan

Di Tugu Kotamu

Di tugu kotamu , aku menemukan diriku rikuh dan malu-malu Aku mencoba mengingat kembali sudut-sudut yang dulu kukenali sekali Sungguh, sangat aku kenali Nyatanya kini wajahmu begitu abu Penuh sungkan aku menyapamu Di tugu kotamu, aku mendapati jiwaku begitu kaku Tak seakrab dahulu Trotoar Malioboro menjelma dahaga; Alun-alun Kota ranggas dedaun beringinnya Gudeg menjelma judek Sreg menjelma amblek Hangatmu menghablur menghambur menjelma batang sangkur, pisau cukur, atau sabit Mak Kur yang sawahnya akur di antara jalanan tol yang kufur, bandara adiluhur, dan aristokrasi yang mulai lantur Di Tugu Jogjamu, aku kehilangan minatku Hasratku lembab di antara sembab mata yang berasap ditikam marah, dihujam gelisah, diterkam puruk dan pasrah Maka, kubiarkan jemariku klitih merogoh suci diksi-diksi yang kumiliki Barangkali pada sisa keindahan rima , masih kutemukan remah wajahmu yang ramah Dan di hariku yang menua kutemukan jawaban purba tentang pelataran untukku rebah Ya, di wajahmu Jika Cil
Postingan terbaru

Kemarau Oktober (Koran-koran)

Koran-koran menyembunyikan diri Pagi ini, angin muson membatasi diri dan memanggil kawannya lagi meniupkan amarah ke penjuru bumi Koran-koran mengkhalwatkan diri! Kolom-kolom mereka menguping mati yang baru semalam terjadi di Lubang Buaya yang sunyi Aroma nyawa masih terasa menyelinap ke kaki Patung Dirgantara dan tembus ke Istana Darah! Darah meresap ke dalam tanah menuju air bawah menuju sumber segala gelisah menuju palung gulita dari sejarah yang tak kita kenali wajahnya Koran-koran menghentikan tubuhnya ditulisi Mereka mengintip gersang yang mulai datang dari pepohonan jalang yang hanya bisa memandang satu, dua cecunguk berlagak melangkah tanpa tunduk menuju gerbang riwayat yang akan dibuat yang akan diralat yang akan diserbahebatkan Koran-koran tahu diri untuk tak bersuara kini Mereka sadar ada yang akan menjerat mereka punya tulang belikat Hingga hampir separuh abad Hingga hampir cerita negeri ini tamat Maka, koran-koran membatasi napas nya Mereka biarkan kemarau mengusir hu

Malam Kudeta

Dulu, setiap malam begini, aku selalu dipaksa membelalakkan mata di depan layar kaca untuk berjam-jam lamanya Apalagi jika bukan menyaksikan lagi reka drama sejarah bangsa yang mulai dipertanyakan lagi siapa yang bertanggung jawab di balik darah mereka semua Dulu, setiap malam begini, Bapak dan Ibu memaksa aku yang belum tahu berapa satu ditambah satu dan mengapa mendung itu kelabu untuk menonton lagi, lagi, dan berkali-kali propaganda yang paling jeri Mengalahkan iklan paling jeli Dulu, setiap malam begini, orang-orang mulai berdongeng lagi bagaimana perwira-perwira itu dihabisi dengan lelucon yang tak kutemui bahkan dalam lautan puisi Soal silet-menyilet atau perkara  orgy  tak bersinglet: segalanya begitu obsolet Aku bertanya pada paklikku dimana pujangga pengarang kisah itu bisa kutemui Kepalaku malah dijotosi Kini, setiap malam begini, aku mulai duduk menepi Di pojokan paling misteri di sudut yang tak diketahui, kutinggalkan istri yang sudah kubuai ke dalam mimpi Lantas aku

Corona Tamasya

Konon kabarnya corona bertamasya Dia bosan menunggu saat kehadiran mereka: Ya'juj dan Ma'juj di tepian telaga dari persembunyian yang sudah direncana Konon sebagian mereka desersi dari kompi Berjaket atau rompi sebagian tak beralas kaki dan sebagian tak berpikir lagi siapa yang kali ini akan mereka habisi Ya, mereka tak peduli Konon katanya corona bertamasya Dari masa depan yang menjemukan, mereka meminjam Pintu Semau Gue untuk mencicipi seporsi kare tanpa sentuhan panel dan ponsel yang membuat mereka diare Dari masa depan mereka bermaksud mengingatkan: Ini belum prahara akhir jaman Jangan mengeluh kebanyakan, Kawan! Konon kiranya corona bertamasya Lihat! Mereka asyik bercawat berjajar di khatulistiwa kita Menertawakan kesambatan kita mengalahkan kedongkolan kita Cilegon, 13 September 2020

Pandemi

Kita sudah seharusnya berpasrah diri lalu berkumpul di lingkaran diksi dan bertukar tanda baca koma demi koma hingga tiba di titik jua Toh banyak merangkai kata tak terbaca juga oleh mata yang lelah begadang dalam amarah dan sibuk bertanya: Tuhan , salah kami apa? Sudahlah, kita berkumpul saja begini Kau, aku, dan dia dan mereka - dan entah siapa lagi nantinya - kita mulai menulis wasiat keramat Kita simpan itu amanat pada reranting batang langsat kawat Barangkali suatu kali angin lewat dan pandemi ini tamat, maka pesan purba kita terbaca entah oleh ahli warismu, ahli warisku, atau ahli warisnya atau ahli waris mereka atau entah ahli waris siapapun jua bahwa telah mati meninggalkan puisi seratus ribu batalyon pemimpi yang berharap bernyawa lagi jika pandemi pergi Ah, pun jika tidak setidaknya mereka tak sedungu ini merajut mimpi ketimbang memilih pergi Cilegon, 13 September 2020

Lowongan

Pandemi membuat koran susut dan sepi dari tangan para pencari jati diri dan seragam sementas kuliah kemarin pagi Job fair  menyisakan job unfair yang mana mimpi-mimpi melumer dan dendam kelam meluber menjadi pengangguran, menjadi pengantri di barisan kematian: jika tak kelaparan , ya wabah ini yang memuakkan Tangan-tangan tak pernah benar mencoba peduli Mereka perlahan kian menepi dan makin perlahan menyepi ke dalam puisi yang hanya bunyi di dalam lirih Ya, lirih Itu pun di bibir sumbing yang sumbang bersambung-sambung tak berujung lagi Maka, janganlah kau bertanya kepadaku: ' adakah lowongan hari ini? ' Karena bagiku hanya ada dua pekerjaan yang disediakan dalam musim bajingan ini: negosiator pandemi atau tukang gali Dan kau bisa dikenal sejarah paling wangi sebagai pemenang negosiasi damai dengan wabah abad ini Atau pilihan kedua: kau gantikan mereka yang mati lelah mengubur saudara sendiri Cilegon, 13 September 2020

Senyampang

Senyampang hati kita masih lapang dan pikiran kita demikian terang, sudikah bila malam ini aku datang lalu membujukmu ke ranjang lalu kita biarkan segalanya menjelang untuk kemudian mengerang untuk kemudian mengejang untuk kemudian terjatuh dalam mimpi panjang? Senyampang waktu kita masih belum jelang dan lonceng kapal belum meradang, sudikah bila pagi esok kan kuulang segala yang semalam kau tangisi dan kau jambaki dan tak kau sesali untuk kita kenang sebagai tanda pisah paling sunyi? Sudikah kau demikian, Kasih ? Cilegon, 06 September 2020