Langsung ke konten utama

Dissident*

Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah
Bertahan. Terus berjalan
Meski hujan paku menyentuh langkah
Atau moncong senapan tumpuli kata
Coba melawan...

Apa salahnya berbeda?
Mengapa harus sama?
Tak bisakah beriringan suara kita
    seperti Nyanyian Juara**?
Tak bisakah berdampingan warna kita
    seperti solekan kuas perupa?
Tak bisakah?

Kami sekedar mengingatkan
Kenapa kau berikan kepalan?
Kami hanya menyadarkan
Untuk apa belenggu kau sediakan?
Salahkah diksi kami?
Racunkah tutur kami?
Kami hanya memperingatkan
   Nistakah?

Sekian hari. Sekian minggu
Sekian bulan berlalu
Sekian tahun kau rajam kami dalam beku
Kami menunggu
Kami terus menunggu
Kami tahu
   Tuhan tak lah dungu
Kami tahu
   Keajaiban itu cerlang dan biru
Yang kami tak pernah tahu
   Kapan mukjizat itu tumbuh...?

Kau goreskan-
   sekali. dua kali. seribu kali
-luka di tanah nenek moyang kami
Kami diam dalam dendam
Kami terlalu ingin menikam
Sayang. Jalan teramat buram
Mata kami yang tua. Tubuh kami yang renta
Rambut : Saksi sejarah yang takkan dusta
Memaksa kami bertahan di depan tivi
Berdo'a. Terus berdo'a
   "Tuhan, tumbali saja darah kami..."
Setiap hari. Sepanjang hari
Di dalam sepi...

KINI!

Kau yang berdiri hari ini
Tak akan sanggup mengerti
Pahit getir kami
Setiap pagi
Setiap kali mentari sembul dan menari

Kau yang berdiskusi chubby kini
Takkan pernah sanggup mengerti
Terjal berduri,
Liku mendaki,
Curam menghujan dan ngarai :
   Kehidupan kami

Dan kau,
   yang bersandangkan panji menghimpun kilau
Lanjutkan perjuangan kami!
Kamilah tulang belulang
Maka, kaulah yang kini berteriak lantang!
Kamilah pasir dan debu
Jadilah kau sang Penabuh!
Mengabarkan :
   kenyataan takkan pernah pudar

Dan, bertahan. Terus berjalan
Meski sorot mata menghujam hati
Atau dakwa tak pandang nurani
Terus melawan!

          Inilah Penyadaran. Bukan Pembangkangan


Catatan :
*Dissident diidentikkan maknanya dengan pembangkang, lazim digunakan media di Era Orde Baru. Terinspirasi dari buku Koridor Menuju Demokrasi : B.J. Habibie, Petisi 50, dan Partisipasi Politik Masyarakat, editor A. Makmur Makka, dkk, terbitan Pustaka Cidesindo, Jakarta (1996).
**Queen - We Are the Champion

Sumber Gambar : Jakarta.go.id - Petisi 50

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The End of The Holiday ^.^

Menyambut Esok Yup. Saya pikir inilah saat terakhir saya ngabisin hari libur. Masa reses. Masa menenangkan diri dan menjauhkan diri dari aktivitas perkuliahan dan tugas-tugas yang naujubillah banyak banget. Ini hari terakhir, meskipun masih kesisa sehari besok, buat memikirkan rencana masa depan. Kenapa hari terakhir? Ya karena mulai Senin besok lusa nggak ada lagi rencana. It's time to action! Setuju? ^.^ Senin, jam 7 pagi, sejarah semester 4 studi saya dimulai. Dosen baru, suasana baru. Target-target baru. Saya yakin, sepanjang hati kita yakin, kita bisa melakukan apa aja. Kebaikan apa aja. Kesuksesan apapun meski terlihat rumit dan mustahil. Dan hal ini yang akan saya lakukan: Agraria harus dapat nilai A!!!! Itu tekad saya buat si dosen killer yang bakal jadi dosen di kelas yang saya ambil semester ini. Semoga ini bukan keputusan goblok saya. Tuhan, Ya Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, berikan petunjuk dan kemudahan bagi hamba. Aamiin... So, bagaimana denga

Aku Tertawa

Bayi pun Turut Menertawakanmu Aku tertawa Melihatmu Berebut gundu dengan bibir berlumas gincu Tapi, Aku lebih tertawa lagi Melihatmu sendiri Tergugu dan nyeri Ketika biji gundu itu melesat ke dahi ..... Bekas dan jelas Sumber Gambar : Google

Sajak Pendek

Entah Ku tembangkan di tepi senja Ketika jingga menyala Dan jarak memisahkan kita Semoga kita berjumpa                    Lagi... Sumber Gambar: eRepublik - The New World