Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Ketika Malam

Gelap Malam Jangan pedulikan lagi Lolong anjing di lorong sepi Jangan hiraukan lagi Dingin sunyi menikam hati Jangan lagi... *** Jangan tulisi lagi  Gelap langit dengan untaian puisi Dan. Jangan kau hiasi lagi Bintang bulan dengan asa yang nisbi Sebab Kita mampu melakukannya sendiri Kita masih mampu: ... Ketika malam menyapu ... Sumber Foto: Depot Seni Grafis

Lepas Angan dan Asa

Mari. Kita berjalan ke sana Mencari apa saja dan bertemu dengan siapa saja Kita susuri apa yang bisa kita lalui Dan mari kita jejaki Segala yang mampu kita hadapi Kembali Tak perlu kepalan tangan yang kuat Atau mungkin selera tinju yang hebat Pun. Tak perlu suara yang lantang Demi tumbang di karang jalang Cukup kau sediakan: tutur lembut bak tembang Begitu rancu menghadang Dengan mesra bisikkanlah padanya: binasa! Seketika ia kan sungkur di tanah Kalah... Kita, sudah saatnya kita: Berpikir dengan otodidak Berhentilah terpaku dengan buku-buku Dan ceramah semu yang makin menjemu Kita, sudah saatnya kita: Bergerak di jalanan Mengulurkan senyum kepada bisu Dan menanam ilham di jidat yang lesu Agar mereka tahu Apa gunanya tangan         Apa gunanya kaki Apa gunanya lidah         Apa gunanya wajah Apa gunanya kepala         Apa gunanya telinga Dan. Apa gunanya kita Jika kau telah menemukannya Lepaslah kau dari perangkap angan dan asa Karena kaulah sang p

Gugusan Rindu

Takkan Mampu Kau Halau Rindu Mengenali lekuk rindu Warna. Aroma Dan sosok yang kini menggugus Tak terumus Ada sekeping asa Melayang di puncak damba: "Apa itu? tanyamu ku jawab gelengan bisu Kau tahu apa itu Lalu Seuntai tembang mengalun membayu Mencabik sepi Menikamkan benih di ceruk-ceruk hati Kau kembali bertanya: "Apakah itu?" Dan masih: ku jawab dengan geleng dan bisu Kau sudah tahu... *** Sepayung sajak melagu Mendarat di jalan setapak Yang kering. Yang gersang dihajar terik tadi siang Ia lalu turun Anggun Memijak kerontang rerumputan ilalang Lalu Kau bertanya: "Apakah itu?" Dan ku jawab dengan lugu: "Kau tahu itu" *** Maka Kau pun termangu sendiri Memandangi lengkung lembayung senja Menikmati pesona nan rasa tak beriba Maka Kau pun lantas merunduk Menerka isi bentuk Gejolak. Gemolak di sudut kalbu Dan. Maka Kau teringat pertanyaanmu tadi Dan. Sekali lagi: maka Kau tahu apa jawabnya itu Rindu...

98,2 Kilometer

Jalani Saja. Tanpa Bertanya! Sendiri Dan memang itu yang ku sukai Menjelajah dari sudut ke sudut Melewati batas kabut Menyeberang ke titian lembah zamrud Dan hari ini Ketika mentari tersenyum sendiri Sesuatu memancing nurani: apakah gerangan? Dan tiba-tiba Gairah kembara mengalir begitu saja ***        -Tajinan- Aku tak melihatmu berbeda: Sama Seperti pedesaan di kotaku dulu Pencil. Mungil Tersudut dari hingar-bingar kota yang dekil Kelok melata. Hijau merata Aku terperangkap dalam euforia jiwa Menikmati gilasan roda dalam suara Dipadu pepohonan: nyiur, cemara, dan pinus di kejauhan Bersaksi: inilah hari terindah musim ini Lalu. Ku pacu kuda mesinku Melesat ke perbatasan ***        -Tumpang- Sekilas kunjung Wajahmu tak pernah murung Semarak dalam gemuruh suara jejak Diam dalam ayunan alam perak Tiada ada derita menyayat Atau murka menebas, membabat Kau: tampil seperti kisanak Berbaju putih dengan tatap yang bijak Sembari menunjuk arah: "ke

Matahari Kelabu

Hutang Negara Menyesak Duka mendalam, mendegam. Menghantam Di bawah kemucur sinar pagi Lelaki itu Sendiri menanggung sepi Si sulung termangu memandang sekitar Tanpa sadar: Adiknya mati di lantai gerobak Milik sang Bapak Tak ada yang mendengar jerit hatimu Maka. Kau berjalan Berjalan Kembali berjalan Memintasi lirih dan luka nyeri Melintasi gigil kerdilnya kota yang culas Bayang-bayang damba Memunah menjadi ringkas: nelangsa Sesal yang menggumpal Membuatmu terus berjalan Berjalan Terus berjalan Menembangkan derita dan kematian Menuju Stasiun Kereta Tapi. Entah apa maksud Tuhan Belum habis sayatan kau sembuhkan Karang terjang menghadang, menghalang. Menjengkang Bapak Polisi: "Belum cukupkah nanah ini?" Tapi ia tak pernah mengerti. Takkan cukup memahami Dan. Dengan beban kau ikuti langkah mereka Tertundalah tidur damai si Bunga Jelita Namun Lorong hitam yang kau datangi tak jua memancing duli Engkau: dengan ikhlas mereka lepas Lagi. Kau. Ke

2012 (Makin Banyak Saja)

Menghitung Hari... Makin banyak saja Kegilaan di sekitar kita: Kebobrokan sang Pengayom rakyat Hingga keborokan para Wakil rakyat Makin banyak saja Keanehan di sekitar kita: Si jongos baru mendadak jadi majikan Atau Pahlawan Seberang yang mati tanpa kepedulian Makin banyak saja Teka-teki di sekitar kita: Belum habis skandal bobol nya uang rakyat Kini muncul kepalsuan wajah Tuan yang (Tak Lagi) Rahmat Makin banyak saja Ketimpangan di sekitar kita: Si kaya dimana-mana Kenapa kemiskinan makin menggila ? Makin banyak saja Keculasan di sekitar kita: VIP jelas bagi hartawan. Tapi... Kenapa kami dinomor-sejutakan ? Makin banyak saja Kutukan di sekitar kita: Jembatan batu yang runtuh Hingga darah di Andalas Tercinta Dan. Makin banyak saja Kedunguan di sekitar kita Tanda-tanda senyala ini Kenapa kita lalai begini? Sepertinya Sangkaan kiamat 2012 benar adanya Maka. Bersiaplah sekoci dan sampan Barangkali kau bisa terselamatkan Seperti dalam impia

Menggenggam Tangan Tuhan

Tangan Tuhan Ya. Ketika tidak tak mampu lagi berharap Dan hari-hari begitu gelap dan pengap Maka. Cobalah kau raih jemariNya Barangkali. Di sana masih ada cinta... Menggenggam tangan Tuhan Ya. 'Pabila impian selalu dikebirikan Dan kedukaan ditumpuk di laci kekuasaan Maka. Cobalah kau sentuh ruas telapakNya Barangkali. Masih tersisa duli padaNya... Menggenggam tangan Tuhan Kenapa tidak? Ketika darah dan pelor menjadi sahabat karib, Dan kelaliman menggantung harap di tiang salib, Dan Tragedi: September 65. Tanjung Priok Jakarta. Palagan Hitam Salemba. Santa Cruz yang Luka Hingga Mesuji Gulana , menjadi banyolan dan dikebirikan Maka. Cobalah kau rengkuh Dia Barangkali Ia mau menjatuhkan dakwaNya Seperti Sodom dan Gomora Atau cerita luka umat Saleh yang binasa Saat itu Kita baru bisa tertawa Karma telah tiba... Sumber Foto: Seaners Indonesia

Kontroversi

Murka. Jengah. Dan Bara! Sontak Langit terbelalak Matahari, Bulan, Bintang. Beku. Kehilangan jernih suara Burung-burung tercenung Air danau tertenung. Siapa mengira? Siapa menduga? Siapa menerka? Berjuta pasang mata manusia baru saja terbuka Ketika lembaran koran langganan Melayang, menimpuk pintu teras rumah mereka Headline: Pembantaian Puluhan Warga,  Mesuji Berdarah Sorot kamera menggantikan tatapan Tuhan Bergerak ke seberang; berharap temukan kebenaran Kontan Kita lupa pada gejolak di Senayan Kontan Kita lupa akan gaduhnya Istana Seketika itu kita terbelah:  antara percaya dan memustahilkannya Angin bercerita Niskala tragedi berdarah Membenih tujuh belas tahun silam Ketika Bento Keparat masih bertahta Dan Tuhan dilipat-lipat di laci meja Angin juga berkata Niscaya anyir prahara Terpahati di atas rimba Ketika mesin-mesin culas pertama kali menggegas Dan pribumi dikebiri menjauh dari bumi kelahiran mereka Maka itu juga Seratus juta manusia bertany

Sonata Malam Pertama

Damai Malam Kudus Suara tawa: dimana ia? Senandung biduan: kemana mereka? Sunyi menyergap. Sunyi memerangkap Sunyi mendekap. Gelap... Di sini tak ada suara piring bertumbukan dengan sajian Atau tapak kaki beradu berebut antrian Di sini tak ada bincang nostalgi Pun juga reuni silam yang lirih Di sini tak perlu lagi pelaminan Dan seragam pengantin yang mengagumkan Di sini hanya ada segumpal sepi Dan sepasang tubuh yang beradu, berkasih Di bawah kejora malam abadi Mereka tak perlu suguhan tembang cinta Karena mereka telah menggubah: dengan sonata bah'gia dan sedawai desah Mereka tak perlu teguk segelas madu Karena mereka telah meramu: dengan pagut dan rayu Dan. Suara serangga bernyanyi di luar sana Mencoba meredam suara amuk hasrat sepasang anak manusia Yang hanyut dibuai nuansa Bulan tersenyum dan memandangi angkasa Tuhan, telah kau ikatkan lagi benang asmara Ujarnya sembari beredar sepanjang waktu Sementara itu Cerita

Semarak Citra (Kepada Para Pemuda)

Bergeraklah! (Kepada Petualang Baru dan Rencana di Kepalamu) Tak perlu meragu Tetaplah di jalanmu Sementara seratus juta orang tua meludah Tampunglah semua! Barangkali suatu hari nanti: mereka kan menjilatinya lagi Tak perlu bimbang Setialah menerjang dalam lenggang Mars gemertak yang risau bertembangan di awang Kenapa harus ditakutkan? Larutlah! Menari, bernyanyilah! Barangkali suatu hari nanti: lagu sepicis itu yang redup dalam derap sepatumu Tak perlu gentar Memang jalan kita papar dan bakar Onak. Duri. Sepi Berkombinasi dengan panas caci maki            menjadi portal luka hati Tak ada obat untuknya Selain terus berjalan Berjalan Dan berjalan Sampai menggumpal keberanian Dan, Kawan Tak perlu risau Singkirkan pucat buram raut yang galau Matahari masih jadi sandaran burung-burung berkicau Dan bulan Masih menyelam tambatan kekasih pahati janji dalam kerinduan Ini hidupmu! Ini waktumu! Kenapa harus lunglai di ujung dakwa? Me

Cemara & Ilalang

Damai Meski Berbeda Kau cemara. Aku ilalang Kau gemulai menyongsong fajar. Aku tersenyum menjaring sinar Kau sipu kepada awang. Aku malu kepada ruang Kau diam di tepi malam. Aku beku di pintu degam Kau cemara. Aku ilalang Kau menjulang. Di bumi tubuhku membentang Kau gemuruh. Aku teduh Kau biru. Aku membisu Kau bicara. Aku juga Dalam bahasa do'a Ketika burung-burung pulang ke sarang Kau cemara. Aku ilalang Burung manyar singgah di dahanmu. Membawa setangkai bagian tubuhku Di cabangmu sarangnya sembunyi. Di situ pula tubuhku menyelubungi Maka. Ketika sejuta manusia berdebat soal besar dan kecil Atau si necis dan yang dekil Lalu mereka pun berlomba untuk membudaki saudaranya Tepat di bawah tumit mereka Kau cemara. Aku ilalang. Kita bertanya: Bagaimana bisa? *** Raut senja menyumba Kau cemara. Aku ilalang Di pintu malam kita berdendang Tentang damai yang tenang... Sumber Foto: Trip Advisor

Dansa Ceria

Happiness Dance Mari! Ulurkan tanganmu kemari! Kita belenggu dulu: kelesuan hati Ini saatnya menari Berdansa riang hati Maka: menarilah! Mari kemari! Ketukkan langkah kaki dan jemari! Kita vakumkan dulu: segala dendam dan dengki Ini saatnya tertawa Bergelak tentang apa saja Maka: tertawalah! Marilah, Kawan! Dendangkan semarak jiwa! Kita tutup dulu: telinga dan mata . Dari sorot keji dunia Lupakan dulu prasangka Dan kepenatan pada nestapa Ini saatnya bernyanyi Tentang kedamaian hati Maka: bernyanyilah! Dalam dansa ceria... Sumber Foto: Just Another Stories

Di Bawah Tembeliung Hujan

Deras Hujan Melibas Ku arungi jalan Sendiri Di bawah ganas kasarnya tembeliung hujan Langit Comboran setengah pekat Mendung gemumpal menambat Aku nyaris tercekat Genangan tenggelami hati Kekacauan seperti kawan Disapa meskipun datang dan pergi Wajah-wajah pasrah memandangi dahaga Bertanya: Kapan kemarau tiba? Setapak demi setapak Ku lalui impian tanpa beranjak Kuakui: hujan semakin mendahak Kusadari: kau pun mulai terdesak Tapi, percayalah! Cerah menyapa di ujung sana Kenapa harus menyerah? Sunyi memikat, menjerat Hening mengusap ke lubuk jiwa memucat Aku menepi sejenak Menengok ke belakang Mendapati seratus juta orang terbenam tak bisa berenang Maaf. Aku tak bisa berbuat apa Karena aku bukan siapa-siapa Aku hanya bisa mendulang suara Dan ku pahat menjadi kata Sayang. Kau tak mendengarnya Kau tak menyimaknya Kau tak membacanya! Maka. Maaf. Ketika kau berjuang di arus derita Aku tak mampu mencegah Karena ku sudah mencoba. Dan kau tak suka... Ku

Lintas Ruang (Tlogowaru - Comboran - Tlogojoyo)

Jarak Tak (Akan) Pernah Jadi Halangan Sebuah Perjalanan Kecil di Siang Hari... Mendung Mengapa kau selalu murung? Aku tak pernah melihatmu: Tersenyum merentangkan tudung Pun jua hari ini *** Aku menyusuri jalanan Sendiri Di antara lingkup nafas keheningan Aku pandangi tepian Tak ada pendar keyakinan Aku melangkah di atas kaki sendiri Sementara sorot mata meragu Menghujani, memalu, memaku Aku terus melaju: Menuju titik temu Aku tak peduli Betapa panas sengat sinar membakar Aku pun tak peduli Betapa deras hujan nanti menghajar Aku hanya mau berkejar Bersama waktu Berlomba: siapakah yang akan tertawa lebih dahulu Di ujung jalan sana... Ya. Terus! Terus! Jarak mil demi mil aku gerus Terus! Tak ku hiraukan kecam awan menghunus Aku terus melaju. Melaju. Di depan perhentianku menunggu *** Aku tertawa        – tersenyum tepatnya –      dalam perjalanan kembali Aku tak peduli Pada gemuyur hujan yang beku Dan aku lebih tak peduli Pada genangan dan ke

Saksi Gerobak Tua

Gerobak Tua Tanpa keluh Dalam cinta mereka mengayuh Gerobak tua saksi cinta Ketika surup sinar senja membara Mereka tenang dalam kisah asmara Dan. Berbungkus nasi kuning terhidang merata Bersaing penjaja dan bisingnya Ibukota Mungkin tak ada yang memerdulikannya Ketika kapitalisme menjadi Raja Dan bisnis menjadi Tuhan yang terpercaya Maka. Hadirmu adalah kutu di antara gemulainya surga Adamu adalah ketiadaanmu Dan suara pabrik menggilasmu dalam hilang Lekang tanpa bayang Dalam kesendirian menunggu anak dan istri Di beranda sepi Ku kenang lagi rapuh ringkih sang Suami Dan tegar pasrah wajah sang Istri Aku bertanya: Tak adakah cahaya? *** Gerobak tua masuk di mimpiku Tuhan. KaruniaMu... Terinspirasi dari Gerobak Nasi Kuning Biasa Sumber Foto: Fotografer.Net

30 Menit

Damba Dan ia menunggu Menunggu Menunggu kapan saat itu Ia hitung. Sungguh. Ia sudah menghitung Lembaran uang di tangannya hampir genap Dan ia hanya perlu menunggu Sekali lagi, menunggu Maka: genaplah lembaran uang itu Ayah. Betapa sosok yang ia damba Tegar hati kecilnya berkata: "Ayah menyayangi aku" Atau "Ayah merinduiku" Setiap kali dingin mencibir Dan kegelapan malam bertubir Ia berteriak dalam hati: "Ayah mencintaiku" Kepada sepi... Kini. Ia hanya perlu menunggu Setelah itu, semuanya akan tahu: Kamar tidurnya yang hampa. Bantal guling berwarna Hingga sepatu yang menghina kesendiriannya Semua akan tahu: Ia akan bercanda dengan Ayahnya . Sebentar lagi! Deru mobil merayap di pelataran Senyumnya kembang. Bagai bulan pecah di malam panjang Ia mengintip dari jendela Menunggu hadir sang Ayah tercinta Dan menyambutnya dengan pelukan cinta Ketika sepasang mata mungilnya bersitumbuk dengan mata sang Ayah Ia berkata: "

Bai Fang Li, Cahaya di Redup Senja

Bai Fang Li, sang Mentari .....Cahaya di Redup Senja .....   Aku tak tahu Atas dasar apa Tuhan meledek kami lewat dikau Aku juga tak tahu Atas dasar apa Tuhan memungut engkau dari kami Yang kami pahami: kami tak mampu seperti dikau Meskipun dikau lebih sanggup menjadi seperti kami: Tak berhati... *** Bai Fang Li Nyaris otakku menyangka namamu Seperti nama jajanan Atau toko penyedia nisan Nyaris otakku Mengira dirimu bukan sesuatu Hingga akhirnya aku tahu: Kamilah yang bukan sesuatu! Keringatmu masih bisa kucicipi di udara Renta, ringkih, membungkuk badanmu yang layu Mencetak asa kau di atas becak kayuhan yang bisu Tak ada kata putus asa Tak ada rasa sesal Sementara kami dari sini mencekal. Miris Dan pundi-pundi emas mengalir dari jemari keriput Tak ada dengkimu memagut. Tak ada irimu cerabut Tak ada kutukmu memagut Mengalir. Ya! Tulus hatimu mengalir Tanpa sadar: embun sudah menjadi banjir Membasahi jiwa kami yang kikir Dan. Ketika kau mulai payah

Perjalanan ke Bukit Damai

Panderman, Puncak Kedamaian  Menapaki jalanan sepi Sendiri Berpayung mentari dan kejernihan hati *** Aku melenggang di bawah bayang-bayang langit Ditemani angin yang sengit Dan debu-debu yang melesak, menggigit Aku merangkak tanpa arah Berharap: menemukan sedikit cahya Dan. Aku memang t'lah temukan ia *** Sendiri Perjalanan ke bukit damai Aku tak lagi peduli: Pada dengki yang membantai Dan aku lebih tak peduli: Pada hujat yang membingkai Karena Aku telah terkurung dalam Surga Surgaku! Ketika dunia disesaki tangan-tangan kotor berebut nanah Aku hanya tertawa Dalam hati aku bertanya: Bagaimana bisa Nanah berebut nanah? Sembari tertawa dan tenggelam di peraduan senja Di pelukan Pelabuhan Jingga... Sumber Foto: Malang Tour for Fun

Bermain Kata-Kata

Pertama: Berpikir Seperti pujangga ternama Melempar kata seenak jidat kepala Tak kau timbang makna? Tak kau hitung hikmahnya? Maka. Tak heran dunia sambat membaca Bermain kata-kata Menyusun tanpa rencana Bergantung pada intuisi yang tumpul Dan jadilah tumpukan sajak modal dengkul Bermain kata-kata Bukan maksud aku menghina Atau melecehkan daya upayamu menggubah Tapi, tak mampukah kau memikirkannya sejenak: tentang tema, tentang diksi dan makna tentang rima, tentang klausa, atau jejak pesan yang kau tinggalkan di dalamnya Kau luputkan itu semua Begitu titik terakhir tercipta Kontan. Langit menangis darah "Satu lagi orang bodoh lahir ke bumi," katanya Aku hanya diam. Diam Mendegam... Sumber Foto: Poetry Irwin

Kerjapan di Silam Pagi

Di Kesendirian Masa Lalu Mengerjap di silam pagi Mengenang. Me-reka ulang dambaan yang lengang Suaraku membungkus di gusar waktu Terjerumus. Terjerebab di gelap gugus Tiap kali aku bertanya: Dimana Cahaya? Selalu saja: Tidak ada , jawabnya Aku lalu diam. Diam Dan... Diam Maka. Ketika untuk sekian kali aku terpaku sendiri Maka itu pula: aku putuskan untuk berdiri Perlahan berjalan. Perlahan merangkak lepas dari kegelapan Perlahan aku berlari. Berlari! Lari! Lari! Lari! Dan, LARIIIII!!!! Ku terjang kebekuan itu! Bah. Apa pula keperkasaan? Semu! Kini. Dapat ku rasakan hangat mentari membakar isi hati Dapat ku terima birama jiwa yang menyatu bersama simponi angin Dapat segalanya! Lalu. Aku dengar kamu bertanya: Bagaimana dengan kerjapan itu? Aku diam. Sesaat. Ku pandangi langit yang birunya semakin berat Dan. Ku lempar senyum padamu. Aku berkata: Yang lalu, biarkan berlalu Sambil ku terus berlari. Berlari Dan berlari... Menuju Gerbang Hari Depan Sumber

Sembelit

Kutukan Dusta! Dengan wajah sembelit Kau berpidato di atas mimbar Janji, keprihatinan. Sekali lagi kau tebar Berharap menjadi sinar di saat sulit Dan, sayang. Kami tak tulalit Kami mengerti dengan pasti: ada apa di balik ini Konspirasi. Dalang jalang dan script yang membajang Semuanya kami sadari: menghantui kehidupan kami Lalu. Ketika wajahmu semakin melilit Dalam diam, dengan bisu, kami tengadah: " Tuhan, sembelitkanlah pemimpin kami Hingga ia sadar: langkahnya semakin kasar. Menginjaki wajah kami " Amin! Sumber Foto: itempoeti

Terpasung Cinta

Aku Selalu Merindukanmu Aku. Terpasung cintamu Terkurung di jeruji hati Tak mampu terbang bebas Lepas. Seperti kawanan unggas Aku. Terpenjara kasihmu Mendekam dalam rindu Sepanjang waktu tersiksa mengenangmu Ini ku cumbu Aku. Benar-benar Menyendiri di sudut hatimu Tak 'da yang tahu: sampai kapan aku di situ Tak juga aku. Tak juga kamu Atau mereka yang mendengki di lorong itu Yang aku tahu: Aku sungguh menikmati. Sungguh-sungguh ku nikmati Sumber Foto: Diary Hati Seorang Gadis

Ku Panggil Nama Mu dalam Diam

(Ketika Manusia Dijebak Dilema Antara Dunia dan Tuhannya) Memuja NamaMu Ya. Karena dunia terlalu bising Dan suara puja-puji Bersitumpuk dengan semangat memaki Maka. Ku panggil namaMu dalam diam Haruskah ku panggil Engkau bersamanya? Ku panggil namaMu dalam diam Ya. Karena hidup sesak penuh dendam Dan suara ketulusan Murtad diaduk pengkhianatan dan kecurigaan Haruskah ku panggil Engkau di dalamnya? Ku panggil namaMu dalam diam Ya. Karena waktu semakin kejam Dan menepi meski sekelebat pejam Menuai cekal dan hantam Haruskah ku panggil Engkau di baliknya? Ku panggil Dikau dalam diam Dalam sajak temaram Ku sanjungi namaMu dalam-dalam Wahai. Tiadakah jalan damai ku langsungkan penghambaanku padaMu? Sumber Foto: Baltyra.com

Mencari Pagi

Sesal Tak Pernah di Pangkal Mencari pagi Mengikuti jejak yang berganti Aku mengais. Aku telusur di bawah gerimis Dilapuki mimpi. Diguyur kesinisan langit dan bumi Tapi. Bukan aku kalau hirau Maka: aku pun terus berjalan tanpa galau Sampai nanti. Sampai nanti Ketika senja menghampiri Aku terus mencari: Pagi yang kusesali ... Sumber Foto: Ruang Kata Doni Al Siraj

Rindu

Tiada Letih Menanti, Mencari! Menunggu. Ditunggu Dicari. Mencari Selalu saja alur kisah semacam itu Orang terpaku di hening sepi: menanti rembulan menelan sunyi Orang berlarian ke segala penjuru: mengejar cinta yang tak kunjung tertemu Maka. Jadilah prosa-prosa Maka. Jadilah sajak dan irama Bising di antara rima nafas manusia Aku dan kamu Kita sepakat: diam Hati dan pikiran terlalu gemuruh Hingga. Sulit bagiku mengucap kata Hingga. Susah bagimu menyusun nada Hingga. Senja datang, pergi, dan datang lagi Kita masih seperti ini: di lingkup bimbang yang lirih Aku tahu kau rindu menatap hatiku Pun. Kamu tahu aku mendamba sapa cintamu Tapi: tak mungkin ku turuti syahwati. Bisik rayu sanubari Karena. Dunia kita masih menganga dalam jurang petaka Alam pikiran kita masih terpancang jarak yang luka Dan. Cambuk takdir menari mengejeki Bertanya: Kau lawan tembok tirani? Maka. Kau dan aku Kita sepakat: menunggu. Mencari Menjalani dulu kehampaan yang memalu-memaku Men

Roda Sejarah

Roda Sejarah Tak perlu berkata Tak perlu bersuara. Diam saja Sejarah di tangan mereka Menurut sajalah Atau kau akan ditembaknya jua Tak perlu mengeluh Apalagi berniat meneluh Kita tak punya senjata. Atau sekedar belati tua Mereka punya kuasa Wajar kalau seenaknya Tak perlu geram Apa pula hendak menghantam Tunggulah saja Ketika legenda berkutat di atas kawah kebenaran Bumi akan guncang. Hati akan terang Dan. Kenyataan kembali pada singgahsana Ketika itu: semua membisu Kebohongan baru saja dimusnahkan Dan. Kawan kita tertawa menangis di Surga sana Keadilan akhirnya datang juga. Akhirnya... *Didedikasikan kepada seluruh korban manipulasi sejarah. Keadilan akan datang, Kawan! Sumber Foto: Dita's Pensieve

TIPS 02 - Ada Apa Dengan Kritik?

Kalau ada survey yang melibatkan 100 remaja cewek+cowok plus 100 wanita dan pria dewasa tentang pendapat mereka soal kritikan orang terhadap mereka pasti mayoritas mereka jawab: sewot. Hahaha... Andakah salah satunya? Kritik. Jujur, saya sih juga pasti bakal dongkol kalau ada orang ngritik saya. Apalagi si tukang kritik nggak kenal-kenal amat. Rasanya kayak pengen ngelempar botol aja ke muka tuh orang. Setuju? Hehehe... Masalahnya, penting nggak sih kritik itu? Jangan Antri-Kritik! Kritik, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline (unduh dari ebsoft . Hehehe,,,), adalah "kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk thd suatu hasil karya, pendapat, dsb." Lain KBBI Offline , lain lagi si WikiPedia mendefinisikan "hama" satu itu. Lebih halus, WikiPedia menjelaskan bahwa kritik adalah "masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau memban

Kawan Datang, Kawan Pergi

Pengkhianatan Kawan datang, kawan pergi Seperti angin. Seperti dingin sepi malam hari Mereka seperti hantu Hadir merapat tak pandang waktu Ketika dunia riuh: mereka mengulurkan tangan untuk bersuka Ketika hening: kemana wujudnya? Kawan datang, kawan pergi Aku tak pernah memaki Pun sekedar menyesali Aku hanya, selalu, maksudnya, bertanya: "Mengapa?" Dan. Aku takkan pernah peduli Ketika mereka datang dengan senyuman Berharap keniscayaan cinta dariku Karena. Hatiku beku Dan tak ada ruang bagi tegur sapa itu Maka. Ketika kawan datang lalu mereka pergi Aku takkan pernah menghalangi Dan. Dalam puisi aku bersaksi: Aku kan hidup sendiri. Damai di atas kakiku sendiri! Langit. Bumi. Hati. Merekalah saksi... Sumber Foto: PuspitaDee, See My Little World

Ku Cari Bunga yang Lain

Ku Cari Bunga Hatiku Ku cari bunga yang lain Bunga yang tulus Memandang cinta tanpa rumus Ku cari bunga yang lain Bunga yang suci Menatap kasih tanpa materi Ku cari bunga yang lain Bunga yang bijak Memilih kumbang tak sekedar menebak Akan. Ku cari bunga yang lain Bunga yang indah Menerima cinta tanpa sandiwara. Tanpa dusta... Sumber Foto: IndonesiaIndonesia.com

Ku Cintai Kamu

Ku cintai kamu tak seperti lagu Menderap. Mendayu. Lalu hilang di ujung waktu Cintaku seperti alunan nafas Mengalir tanpa batas. Kau rasa kah? Ku cintai kamu tak seperti bunga Harum di muka. Kuncup layu di pintu senja Cintaku seperti surya Menerangi langkah ketika resah. Kau sadari kah? Dan. Ku cintai kamu tak seperti dia Memujimu sepenuh jiwa. Namun, di balik punggung ia goreskan luka sedalam kawah Cintaku seperti air. Rasalah alir! Rasalah! Rasakanlah alir! Ia hidangkan damai tanpa dusta Kenapa kau tak menyambutnya? Ku cintai kamu sepanjang waktu. Selalu...

Sang Manyar & Langit yang Lapar

Tegarlah dalam Gegar! Sang manyar tak peduli Beribu kali. Berjuta kali maut hampir mengungguli Ia tetap melayang. Melayang Di udara ia terbang Sang manyar makhluk yang gagah Ketika mendung cemar dan halilintar bergelegar Ia tak pernah gentar Ia melintas dalam gegas Mengisi sela rongga ruang tersisa Mengisi jalan hidup yang digariskan Dewata padanya Dan. Ketika langit yang lapar Semakin lapar! Semakin sangar! Semakin ambyar! Manyarku terus berburu dengan waktu Debu benci disikutnya; kerikil dengki dipendam Ditinggalkan tanpa dendam Ia terus melaju. Melaju! Melaju! Mengukir kisah dan merekatkannya sebagai sejarah Yang, mungkin, bagi anak cucu manusia nanti: Dianggap legenda Atau mitos pahlawan imajiner Khayalan yang luber Karena. Satu dalam semesta. Langka... Manyarku! Teruslah kepakkan sayapmu! Merdekalah!! Sumber Foto: WikiPedia

Selamat Malam!

Usah kau hiraukan ancaman pagi Dan teriakan sombong siang hari Malam yang Sunyi Usah kau pandangi cibir bibir matahari Dan binalnya debu kalahari Usah kau dengarkan angkuhnya jalanan Dan keganasan mesin-mesin kendaraan Usah kau benci tatap dengki Dan lusinan timpang yang kau sesali Usah kau kutuki nasib yang berganti Dan jalan takdir yang tak kunjung pasti Dan. Usah kau cemaskan kehidupan Selagi masih ada kesempatan Selamat malam! Mimpilah yang dalam! Sumber Foto: Pinxbombyxmori

Koneksi

Kepada mereka yang keliru mengartikan persahabatan ... Murnikah? Dan Semua sibuk menjalin koneksi: Mulai networking hingga bokong njengking Semua dibangun secara sistematis. Praktis. Dan miris. Ketika jalan menyempit dan takdir seakan menjepit Tatkala kehidupan serasa begitu menggigit Tak ada jalan selain bergantung Payahnya, dunia tak mengenal ketulusan Pamrih menjadi bayangan yang tersembunyikan Maka. Bukan aku menyumpahi persahabatan Tapi. Aku mengutuki mereka yang menyusun persaudaraan demi kemuslihatan Ketika semesta membutuhkan uluran Mereka menengok dan berkata: "Kamu siapa? Aku tak mengenalnya." Sembari menjauh menggandeng kenalan sejati Maka. Dunia pun terbelah Kubu-kubu menjadi sekutu Sekutu menjadi hama bagi sekutu lainnya Dan. Perang tinggal menunggu waktu: Ketika koneksi lemot dan copot. Sumber Foto: Rudisumariyanto Blog

Ketika Tuhan Diperebutkan

Kita Memanggili Tuhan Lalu Mengacuhkannya Dalam dalil. Dalam taklid yang labil Tuhan pun diseru dengan kampak. Pedang. Dengan pistol dan tank-tank baja Semua siap mengibarkan bendera prahara Demi pengakuan: Tuhanku-lah yang paling benar Sementara itu. Ketika kita sibuk berkubu-kubu Membangun camp pengungsi dan bunker perlindungan Lalu menyiapkan taktik membela nama Tuhan... ...Kita lupa. Kita baru saja menyembelihNya Dengan kemunafikan dan kedustaan Yang mengundang darah. Membanjiri sepatu kita Pagi ini... Didedikasikan bagi kelompok-kelompok anarkis-fanatistik. Berkacalah sebelum bertingkah! * Sebaik-baiknya Tuhan adalah Dia yang mampu memberikan keyakinan bagi umatNya bahwa: Dia ada! -SANG MANYAR* Sumber Foto: Bethany IHAKA

Lonceng Gereja

Sang Penanda Waktu Dentang sang lonceng Tepat ketika bias surya hilang dari lereng Semesta diam Aku pun diam Langit merah Aku marah. Kenapa pedih begini? Orang-orang berjalan menunduk Ketika hari hilang bentuk Dan musim berlanda dalam kutuk Orang-orang menangis dalam hati Menyesali: tangan, kaki. Lidah yang tajam menggores nurani Tapi. Kenapa kau ulangi lagi? Jutaan detik berganti. Kau pasti menyadari Dan. Jutaan kesempatan terlewati. Kenapa tak kau halangi? Jalan kembali terbuka-tertutup berulang kali Kenapa mesti kau ketuki ketika ia terkunci? Maka. Ketika lonceng gereja berdentang lima kali Malam turun menjadi sunyi Langit makin merah. Aku makin marah Orang-orang semakin parah: Membingkai hidup dalam payah Sumber Foto: Panoramio

Usah Kau Dengar Keledai Bernyanyi

Nyinyir Berjalanlah! Teruskanlah berjalan! Tak perlu kau risaukan Dentuman dengki menggedor dinding hati Tak perlu kau simak Ranjau maki. Ke dalam mimpi bersarang dan menari Karena. Merekalah yang akan menangis nanti Usah kau dengar keledai bernyanyi Berlarilah! Teruskanlah berlari! Tak perlu kau cemaskan Kutukan dan himpitan pandang yang menyakitkan Sebab. Kita lebih lapang: menatap horison di sudut ruang dengan hati yang nyalang Sedang mereka begitu sibuk Meneliti satu, dua, tiga juta tapak kakimu di Bumi yang ambruk Tanpa melihat senyuman abadi sang Matahari Bangga kau hiasi Dunia dengan pesona Hai! Kawanku! Usah kau dengar keledai berpuisi Di pajang lewat mimbar dan pamflet cemar Memenjarakan dikau dalam isu yang galau Kau gubah saja sajakku ini Dan kau bumbui dengan petikan gitar dan harmoni Lalu. Kau dendangkan kepada pagi ketika mata mereka mulai terjaga Dan. Di kelebatan sinar surya Mereka akan menyadarinya: Pagi. Dan kelembutannya hanya untukmu s

TitianKu Rapuh & Mati

(Ketika Persahabatan Menguji Sisi Nurani Kita) Di Suatu Persimpangan Merangkak. Menyusuri lautan onak. Suara-suara begitu nyaring berteriak. Aku. Kamu. Berjalan dalam cita yang berbeda. Aku kemari. Kamu kesana. Aku menjalani darma. Kau berkejaran dengan dunia. Akal dan tujuan menuntun kita menuju kiblat yang tak sama. Suatu hari. Tuhan. Atau apalah Kau menyebutNya. Tanpa disangka Ia pertemukan Kita di sudut jalan. Di persimpangan. Di antara bimbang dan keraguan. Kita lalu sempat bercerita. Tentang rantau. Tentang tanah asing yang memancing galau. Tentang tatapan miring dimana hati kontan terbanting. Berpusing. Dan bising. Kita bercerita: Kita berada di arena yang sama dengan sisi ring yang berbeda. Ada kerisauan ketika suara Langit memintaKu mencabut pedang dan menghunus mulutMu dengan tegas. Ada keresahan ketika Matahari menunjukkan sinarNya untuk membakarMu dengan pidana dan sejuta nelangsa. Ada kegelisahan ku rasa. Maka. Aku berlarian di padang sunyi. Maka. Aku mendayu